HISTORY OF NIASISLAND

Budaya Nias

 Transfer keluarga ke Bawomataloewo lokal, Nias Selatan
sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/

Secara umum masyarakat Nias dianggap berasal dari sekelompok keturunan suku birma dan assam, tapi berbeda dengan asal usul orang batak. Ada banyak teori tentang asal usul suku nias dan belum ada yang dapat memastikan karna mereka aslinya berasal dari lebih dari satu grup etnik.
Perpaduan itu akan menjadi sangat bagus karena gabungan dari beberapa grup etnik. Ferrad (keturunan perancis) melaporkan bahwa seorang pelancong dari Arab yang bernama sulaiman menyebutkan banyak perbedaan suku-suku di tahun 851 SM.

Penggalian di gua Togi Ndrawa (menurut penelitian yang baru dilakukan di Heilberg, Jerman), atau gua Pelita menunjukkan bahwa masyarakat sudah tinggal disana sejak 7000 tahun yang lalu. Banyak tulisan yang juga mendukung teori tersebut. Contohnya : banyak masyarakat tinggal di pohon-pohon yang dipanggil Bela dan masyarakat tinggal ditebing yang dipanggil Nadaoya, menurut kepercayaan masyarakat Nias 2 suku diatas tersebut adalah sejenis roh-roh, roh terakhir yang jahat.

Di daerah Hinako dan dipulau-pulau Wesi selatan telah ada selama 17-18 generasi yang lalu. Mereka disebut suku Maru yaitu suku asli orang bugis di nias. Para missionaris menyatakan bahwa bahasa mereka telah hilang kira-kira 100 tahun yang lalu. Orang aceh datang ke nias kira-kira 13-14 generasi yang lalu.

Mereka selalu berhubungan satu sama lain sebagai polem di nias. Ketika orang aceh pertama kali masuk ke desa Foa dengan menyebrangi sungai, masyarakat nias memotong pohon besar dan menutup jalan keluar. Salah satu tujuan masyarakat nias adalah untuk mempelajari tenaga-tenaga gaib dan cara berperang dari orang aceh. Orang aceh menguasai daerah itu. Ada 3 bentuk cara berperang di nias, yaitu : simataha dari aceh, starla dari sumbar, dan trapedo yang merupakan gabungan dari keduanya.

Bangsa Belanda melakukan ekspedisi pertama kalinya di nias tahun 1855, kemudian pada tahun 1863. nias telah dikuasai Belanda tahun 1914.


Pulau paling terkenal rentang sebelah barat Sumatera mungkin Nias. Itu setidaknya yang terbesar dan paling padat penduduknya. Pada masa VOC, pulau ini dikenal sebagai pengekspor budak ke Aceh, Padang dan Benkoelen. Dengan cara ini bangsawan dari Nias hierarkis meraih emas dibutuhkan untuk mahar dan pesta-pesta ritual. Nias adalah masyarakat pejuang yang tidak hanya diperbudak orang, mereka juga pergi berburu kepala, misalnya untuk upacara pemakaman seorang bangsawan. Pemerintah kolonial berusaha untuk mengakhiri ini (P. Boomgaard, 2001). Sekelompok pemburu kepala tenang, Nias "kelompok pemburu datang untuk menyerahkan diri mereka sendiri" Nias, Sumatera Utara, 1920
sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/

Perdagangan Budak

Nias menjadi sumber penjualan budak-budak, sehingga masyarakat Nias disebut “Laku Niha” yang artinya manusia yang diminta. Banyak para pedagang ke Gunungsitoli yang terdiri dari 3 suku asli yang berasal dari masyarakat menengah.

Orang Aceh, Sumbar, China dan Eropa membawa budak-budak dari Nias. Didaerah lain banyak budak-budak yang diambil dari suatu daerah, khususnya dibagian utara. Desa-desa di selatan lebih melindungi masyarakatnya dan lebih susah untuk dijangkau. Pemerintah kolonial Belanda mendukung perdagangan budak itu.

Pemerintah Belanda menuliskan disebuah buku bahwa penduduk Nias utara telah menjadi sedikit akibat dari perdagangan budak. Budak-budak dari Nias dikirim ke banyak tempat, contohnya mereka dijual ke padang (sumbar) karena untuk melunasi hutang-hutang. Mereka harus bekerja keras untuk beberapa tahun, yang biasanya sebagai pelayan sekarang, ada dibeberapa desa yang masyarakatnya berasal dari Nias di Sumbar. Budak-budak Nias juga dikirim ke Penang, Malaysia. Para Missionaris Khatolik yang tiba di Nias melaporkan bahwa orang-orang China membawa budak-budak Nias dengan kapal pada tahun 1820. budak-budak ini menjadi kristen karena diberi kebebasan di Penang. Lyman, seorang missionaris dari Amerika menyatakan bahwa sebuah kapal Perancis membawa sebanyak 500 orang budak-budak di tahun 1832.

sumber: http://www.lpamnias.org/sejarah.php


Suku Nias
1954

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.

Kasta

Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

Asal Usul

Mitologi

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Penelitian Arkeologi

Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.

Marga Nias

Daftar marga Nias

Amazihönö

Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawolo, Bulu'aro, Bago

Dachi, Dachi Halawa, Daeli, Dawolo, Dohare, Dohona, Duha

Fau, Farasi,

Gaho, Garamba, Gea, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae

Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondro, Hulu, Humendru, Hura

Lafau, Lahagu, Lahomi, La'ia, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawolo, Lo'i, Lombu

Maduwu, Manao, Mandrehe, Maruao, Maruhawa, Marulafau, Marundruri, Mendröfa, Mangaraja,Maruabaya

Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe

Saoiago, Sarumaha, Sihura,

Tafonao, Telaumbanua, Talunohi

Wau, Wakho, Waoma, Waruwu,wehalo,warasi

Zagoto, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamili, Zendroto, Zebua, Zega, Zendratö, Ziliwu, Zoromi

Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.

Khas Nias

Makanan

Gowi Nihandro/Gowi Nitutu (Ubi tumbuk)
Harinake
Godo-godo
köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
Niowuru

Minuman

Tuo Nifarö
badu-badu

Budaya Nias

Lompat Batu
Tari Perang
Maena
Tari Moyo
Tari Mogaele
Sapaan Yaahowu

Dalam budaya Ono Niha terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.

sumber gambar: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Nias

Jalan sepanjang pantai, Nias, 1930
sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl

sumber map: Sadalmelik http://commons.wikimedia.org/

Penarikan batu “Darodaro” untuk almarhum Saoenigeho dari Bawamatalua, Nias. Batu yang berasal dari dasar sungai ini ditarik menempuh jarak 3 km yang dimungkinkan dengan penggunaan konstruksi alat penarik khusus. Batu besar (megalit), kadang dihias dengan bagus, adalah bagian dari budaya di pulau Nias. Di Nias dijumpai patung batu besar, kursi batu untuk kepala suku, serta meja batu tempat pengadilan. Ada juga batu besar yang dibutuhkan untuk memperingati kematian orang penting. Sewaktu batu untuk tujuan peringatan tersebut dipasang, biasanya diadakan pula suatu pesta ritual yang bertujuan melapangkan jalan orang meninggal tersebut untuk bergabung dengan nenek moyangnya di kehidupan setelah kematiannya. Pada foto terlihat bahwa batu ditarik ke atas. Konon dibutuhkan 525 orang selama tiga hari untuk mendirikan batu ini di desa Bawemataluo. (P. Boomgaard, 2001)
sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/

Jejak Manusia Pertama Sumatera Utara Ada di Pulau Nias
Sabtu, 25 November 2006 | 04:33 WIB

TEMPO Interaktif, Medan:
Penelitian Balai Arkeologi Medan menguak jejak peradaban manusia pertama di Sumatera Utara. Jejak kehadiran manusia tergambar dari temuan arkeologis seperti sisa-sisa vertebrata (tulang dan gigi).

Lokasinya di sebuah goa pada ketinggian 175 meter di atas permukaan laut di Desa Lolowonu Niko'otano, Kecamatan Gunung Sitoli, Kabupaten Nias.

Temuan lain dari perut goa yang dikeruk hingga kedalaman 4 meter, yaitu alat-alat batu yang berkarakter paleolitik, di antaranya serpih batu, batu pukul dan pipisan dan mata panah dari batu dengan panjang 2,5 sentimeter.

Bukti peradaban masa lalu yang paling menarik adalah penemuan batu andesit berbentuk lonjong dengan karakter sebagai pemukul, batu pukul dan alat atau spatula berbahan tanduk dan cangkang moluska.

Analisis yang dilakukan terhadap penemuan itu, menurut peneliti Balai Arkeologi Medan Ketut Wiradnyana, sangat absolut. Hasilnya menakjubkan, sudah ada manusia yang tinggal di Nias, khususnya di Goa Togi Ndrawa, Desa Lolowonu Niko'otano sejak 12 ribu tahun silam dan berlangsung terus-menerus hingga berkisar 1150 Masehi.

Umur kehidupan manusia pertama di Pulau Nias itu dihitung dengan metode radio carbon atas sampel moluska. Manusia pertama yang tinggal di dalam goa memanfaatkan biota marin khususnya yang berada pada kawasan mangrove.

Hal itu dapat dibuktikan, kata Ketut, dari tumpukan cangkang moluska yang banyak ditemukan dari dalam lobang penggalian situs.

Budaya yang ada pada manusia pertama di Nias itu sama persis dengan budaya prasejarah yang terdapat di wilayah Vietnam (Hoabinh).

Kemungkinan lain dapat ditarik jika masa paleolitik di Pulau Nias memiliki waktu yang relatif sama dengan masa Paleolitik di daerah Indonesia (Nusantara) lainnya.

Saat itu migrasi manusia di nusantara sebagian diyakini berasal dari daratan Asia. Manusia masa paleolitik kemudian berkembang cara hidupnya sejalan perkembangan otaknya ke masa mesolitik, neolitik, megalitik sampai sekarang.

sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2006/11/25/brk,20061125-88428,id.html

Seorang pria di sebelah osa'osa berkepala tiga, kursi batu untuk menghormati leluhur dan kepala desa



Sekelompok pemuda yang duduk di altar rumah, Nias

Padi dan jagung kering, Nias, sebelum 1940

sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/


Tradisi Prasejarah Masih Berlangsung di Nias

Jakarta, Kompas - Tradisi megalitik—salah satu produk budaya dari masa prasejarah—di Pulau Nias, Sumatera Utara, masih berlanjut dan hingga kini terus dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan itu, antara lain, terlihat dalam sistem kepercayaan tentang asal- usul serta pemujaan terhadap arwah para leluhur.

"Dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia, keberadaan tradisi megalitik di Pulau Nias sangat menarik untuk ditelaah lebih dalam. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama mereka yang berada di kampung-kampung, segala sesuatunya cenderung selalu berorientasi ke tradisi megalitik," kata Harry Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkeologi Nasional.

Ahli peneliti utama (APU) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) penyandang gelar profesor riset ini, Selasa (3/10), mengungkapkan hasil serangkaian penelitian Puslitbang Arkeologi Nasional bersama Institut de Recherche pour le Developpement (IRD) Perancis di Pulau Nias sejak tahun 2001.

Kesimpulan awal yang bisa dirujuk dari artefak sisa kehidupan yang ditemukan di Goa Tögi Ndrawa, misalnya, Pulau Nias paling tidak sudah mengenal peradaban sejak 12.000 tahun lalu. Bahkan, ada indikasi proses migrasi dari Asia daratan ke Pulau Nias sudah terjadi sejak 30.000 tahun lampau.

Secara umum, Pulau Nias memiliki sejarah hunian yang panjang. Temuan benda-benda arkeologis di daerah aliran Sungai Muzöi berupa artefak batu berkarakter paleolitik (alat batu dari masa berburu dan mengumpulkan makanan), kata Truman Simanjuntak, menunjukkan bahwa manusia telah hadir di wilayah ini sejak kala pleistosen. Artinya, "manusia Nias" ketika itu sudah mengenal peradaban sesuai dengan kerangka waktu masa paleolitik secara umum.

"Dari serangkaian penelitian di beberapa situs di wilayah ini menghasilkan suatu asumsi bahwa memasuki kala holosen (setelah periode zaman es), manusia prasejarah yang tinggal di Nias mulai memanfaatkan lingkungan alam sekitar secara intensif," ungkap Truman.

Dibandingkan dengan temuan tradisi megalitik di daerah-daerah lain di Indonesia, memang ada banyak kesamaan dengan tinggalan yang ada di Nias. Namun, dilihat dari perspektif kajian arkeologi prasejarah, keberadaan tinggalan tradisi megalitik di pulau ini sangat menarik. Sebab, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nias masih banyak ditemukan aktivitas yang berhubungan dengan tradisi megalitik.

Di hampir setiap kampung, terutama kampung-kampung tua, kata Truman Simanjuntak, selalu ada arca yang menggambarkan cikal bakal nenek moyang mereka. Patung-patung yang merupakan simbol nenek moyang itu masih dipuja. Begitu pun pola hadap bangunan rumah dan kepercayaan pada folklor tentang asal-usul nenek moyang.

"Ada kesan segala sesuatu berorientasi ke megalitik," ujar Truman Simanjuntak. (ken)

Sumber: www.kompas.com, Rabu, 04 Oktober 2006
sumber: http://aktualita.blogspot.com/


Sepasang berhala di kursi khusus

Belakang kursi batu berukir, termasuk buaya, Nias


Detail sebuah Megalit, 1925-1938

Sebuah keluarga dengan ukiran, 1925-1938

Sebuah Megalit dengan prasasti di sebuah desa di Nias, 1930

Ukiran dalam interior rumah di Nias,1930


Para ayam jago kayu di atas dinding dengan benda yang disebut drum la'ia ditampilkan, mereka dibuat mengingat bentuk-bentuk serupa dari perhiasan emas beratnya lebih dari 100 pau. Oleh karena itu, ayam melambangkan kekayaan bangsawan dan personifikasi sebenarnya kualitas supernatural bangsawan (de Moor, 1990:114) .. drum kayu dan ayam jantan berdiri dan menggantung di dalam gedung besar


Mimbar dan altar di gereja, Hilisimaëtano, Nias Selatan, 1900-1940

sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/


Patung leluhur batu pria 


Pendeta dan drum serta patung untuk sesaji


Patung Leluhur Hiligowe 

Mungkin sebuah altar leluhur, bentuk: kursi dengan kepala Lasara di satu sisi dan ekor vertikal di bagian belakang (Feldman et al,. 1990:230) .. Altar leluhur, di sebuah tiang, dengan batu besar yang berdiri di sekitarnya

sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/


Sowanua dan Nadaoya Manusia Pertama Penghuni Pulau Nias?
Agustus 2, 2007

Sowanua atau Bela

Sowanua yang berarti makhluk halus yang berdiam di atas pohon-pohon raksasa lebih dikenal oleh masyarakat di Nias Selatan khususnya Telukdalam hingga kini. Di Nias Utara, tengah dan Barat menyebut makhluk halus tersebut Bela atau Ono Mbela (anak Bela). Namun Sowanua dalam pengertian penduduk asli, secara umum dipahami di seluruh pulau Nias.

Banyak sekali catatan hitam mengenai Sowanua atau Bela dalam kaitannya dengan makhluk halus. Diceritakan bahwa mereka ini tinggal di atas pohon-pohon raksasa seperti pohon beringin (Eho, Ewo, Eo, Awöni) atau pohon Böwö. Jadi boleh di katakan bahwa di mana ada hutan lebat, di situlah habitat Sowanua atau Bela berkembang. Kebiasaan mereka untuk tinggal di atas pohon, bisa jadi ada hubungannya dengan nama-nama kampung tua seperti Tetegewo, Sisobamböwö, Hiligeho atau nama kerajaan Teteholi Ana’a.

Masih dipercayai juga oleh masyarakat Nias dulu bahwa Sowanua atau Bela merupakan pemilik atau penguasa segala marga satwa (Sokhö utu ndru’u), misalnya: babi hutan, kijang, rusa kancil, landak, tenggiling, berbagai unggas dan lain-lain). Babi hutan merupakan babi piaraan mereka. Oleh karenanya para pemburu satwa (Sialu/si möi malu), sebelum melakukan perburuan, mereka harus minta izin dari Sowanua sebagai pemilik segala marga satwa tersebut. Kepada mereka diberi persembahan (Be’elö/fasömbata) agar mereka dapat mengizinkan para pemburu untuk mengambil atau memburu satwa piaraannya.

Persembahan dilakukan dalam bentuk ritus dengan menyembelih seokor babi. Juga diberikan telur atau ayam, sirih dan lempengan-lempengan kuningan atau logam, pengganti emas sebagai penghormatan bagi mereka yang tinggal di atas pohon (sumange zi so ba hogu geu). Sowanua dikategorikan sebagai dewa hutan yang bertakhta di atas pohon (salawa hogu geu). Mereka juga kadang dilukiskan sebagai leluhur orang jahat (uwu gafökha).

Juga diceritakan bahwa Sowanua berkulit putih dan mulus. Mereka cantik-cantik dan memiliki pengetahuan membuat api dari kayu (fuyu) atau dari batu api (batu alitö). Dari mereka sumber keahlian pembuatan api.

Cerita-cerita yang lebih seram lagi mengenai Sowanua atau Bela adalah ketika perempuan tinggal seorang diri di hutan atau di kebun yang sepi, bisa saja secara tiba-tiba dan tak sadar disembunyikan atau dibawa lari oleh Sowanua. Menurut cerita, orang yang dibawa oleh Sowanua, tiba-tiba hilang kesadarannya. Ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan Sowanua yang menculiknya, namun tidak dapat berkomunikasi dengan manusia biasa. Orang yang diculik oleh Sowanua masih bisa pulang dan kembali menjadi manusia normal.

Karena itu ada beberapa larangan dari orang-orangtua di Nias, misalnya: dilarang duduk atau tidur di bawah pohon besar, supaya tidak kena air kencing dari Bela (Sowanua) yang menimbulkan rasa gatal pada kulit. Anak-anak kecil atau bayi tidak boleh ditinggal sendirian di tempat yang sunyi, supaya tidak diculik oleh Bela. Anak-anak tidak boleh bermain sembunyi-sembunyi pada malam hari. Perempuan tidak boleh tidur sendirian di kebun atau di hutan yang sepi dan kalau terpaksa tidur, tidak boleh terlentang, katanya bisa disetubuhi oleh Sowanua.

Di desa-desa di pedalaman di Nias kita mendengar ceritera mengenai orang-orang yang pernah diculik oleh Sowanua, namun mereka kemudian kembali karena orang banyak (keluarga) mencarinya di hutan dengan cara memberi sesajen kepada Bela dan melakukan upacara ritual.

Konon ceritanya, jika bersama-sama dengan Sowanua, kita bisa berjalan ke mana saja dengan cepat bagaikan dibawa oleh angin. Kita tidak dapat dilihat oleh manusia biasa padahal kita dapat melihat dan mendengar suara mereka. Jika mereka memanggil-manggil nama kita, kita mendengarnya dan kita juga menjawab dengan teriakkan namun manusia biasa tidak dapat mendengarnya. Kita bagaikan berada dalam alam mimpi.

Setelah diberikan persembahan untuk meminta kepada Sowanua agar mengembalikan orang yang telah diculiknya kita baru mulai sadar, bisa didengar dan dilihat oleh orang lain yang sedang mencari kita.


Arti kata Sowanua dan Bela

Sowanua berasal dari dua kata yaitu So dan Banua (wanua). Ada dua arti so yaitu: ada dan pemilik atau penguasa. Banua (wanua) juga mempunyai dua arti yaitu: desa (kampung) dan langit (angkasa). Jadi Sowanua bisa berarti penduduk asli atau tuan rumah yaitu orang yang sudah kian ada pada suatu tempat sebelum orang lain datang.

Di Nias Selatan (Telukdalam) ‘Bela‘ berarti kawan atau sebutan yang menunjukkan tali persahabatan atau perkawanan. Tujuan penyebutan itu adalah untuk menjalin keakraban dan menghindari permusuhan. Sedangkan di wilayah Nias yang lain Bela berarti makhluk halus yang bertempat tinggal di atas pohon.

Cerita yang lebih menarik lagi adalah bahwa Sowanua atau Bela memiliki keturunan. Tapi tidak begitu ditonjolkan dalam penuturan sejarah asal usul masyarakat Nias. Kalau diselidiki pasti masih terdapat keturunan Sowanua atau Bela di Nias. Hanya kesulitannya adalah tidak ada yang mengaku bahwa mereka adalah keturunan Sowanua. Apalagi karena telah terjadi pembauran terutama melalui perkawinan di antara grup-grup etnis yang berbeda beda di Nias sejak zaman dulu ketika Bela masih dominan. Pasti masih ada juga orang yang bisa menceritakan eksistensi Sowanua dan siapa saja yang termasuk dalam keturunannya, akan tetapi tidak berani menceritakannya karena bisa merusak kerukunan antar etnis. Mereka menjaga rasa sensitivitas. Tidak mau membuat orang lain tersinggung atau direndahkan karena asal-usul, sehingga lama-kelamaan pula, perbedaan etnis itu sangat sulit diidentifikasi.


Sowanua dan Manusia Purba

Dari cerita di atas kita boleh menyimpulkan bahwa Sowanua bisa jadi bukanlah makhluk halus atau setan, tetapi merupakan sisa-sisa manusia purba yang sangat primitif dan masih menyatu dengan alam. Kemudian oleh etnis yang datang berikutnya menyebut mereka Sowanua atau Bela. Dari nama itu, kita bisa menyimpulkan lagi bahwa mereka adalah manusia yang telah duluan ada di pulau Nias jauh sebelum etnis berikutnya datang.

Sebutan Sowanua maupun Bela merupakan bukti pengakuan dan penghormatan pendatang bagi manusia-manusia primitif tersebut. Lama-kelamaan, zaman dan manusia semakin maju, lalu manusia primitif yang kalah bersaing dengan para pendatang baru yang memiliki berbagai keahlian dan pengetahuan, tidak berkembang lagi. Mereka semakin terdesak dan termarjinalkan sehingga mereka pun dianggap sebagai makhluk halus atau setan.

Jika kita menerima bahwa Sowanua atau Bela merupakan grup manusia yang telah mendiami pulau Nias sebelum datangnya etnis-etnis lain yang menamakan dirinya sebagai manusia tulen “Niha” atau ‘Ono Niha” (anak manusia) dengan membawa pengetahuan dan keahlian dari negeri asalnya di seberang sehingga mereka membawa pembaharuan dan kemajuan di Nias sebagaimana dikemukakan oleh Pastor Johannes (2001: 210), maka kita bisa menyimpulkan bahwa Sowanua atau Bela merupakan salah satu grup manusia purba yang sangat primitif di Nias dan merupakan salah satu grup leluhur masyarakat Nias.

Menurut informasi dari para informant Pastor Johannes (2001:50) bahwa terdapat 3 grup etnis yang berbeda di Nias, yaitu: (1) Niha Sebua Gazuzu, yaitu manusia yang memiliki kepala besar dan merupakan cirikhas manusia purba ribuan tahun yang lalu serta hidup di dalam gua sehingga mereka disebut manusia dari bawah tanah (soroi tou); (2) Niha Safusi yaitu grup manusia yang berkulit putih dan cantik yang berhabitat di atas pohon-pohon; (3) Lani Ewöna (sindruhu niha) yaitu manusia tulen yang datang dari seberang dengan keahlian dan pengetahuan yang memadai sehingga mereka memiliki pengaruh besar dan membawa perubahan di Nias. Grup etnis inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur masyarakat Nias dan menyebut diri sendiri sebagai Niha (manusia tulen) atau Ono Niha (anak manusia).


Nadaoya

Salah satu makhluk yang mungkin telah hidup bersamaan zaman dengan Sowanua sebagaimana dikemukakan di atas adalah manusia yang memiliki kepala besar yang tinggal di bawah tanah (barö danö) dalam pengertian di dalam gua. Berdasarkan ilmu arkeologi, sosiologi atau antropologi, manusia purba tinggal di dalam gua. Gua menjadi rumah mereka dan hidup sesuai dengan kondisi alam.

Dalam kepercayaan dan tradisi lisan Nias, sering diceritakan mengenai Nadaoya sebagai makhluk jahat atau setan raksasa (bekhu sebua). Suaranya besar sekali dan hanya satu-satu. Kalau mereka lewat dan bersentuhan dengan manusia, mereka langsung memangsanya dan manusia tersebut mati. Dikatakan juga bahwa Nadaoya tinggal di lembah-lembah yang dalam dan gelap serta di tebing sungai yang tinggi dan terjal. Habitat yang dimaksud menjurus pada gua-gua.

Mereka sungguh-sungguh jahat. Karena itu masyarakat Nias sangat takut menyebut nama Nadaoya apalagi kalau penyebutan itu karena hendak mengutuk seseorang dengan mengatakan: ya mu’a ö Nadaoya/ya mana ndraugö Nadaoya (Semoga Nadaoya mamangsa engkau). Ini ungkapan keras dan ditakuti orang.

Kalau kita mengkaji asal-usul masyarakat Nias, lalu kita menghubungkannya dengan bukti-bukti material dan tradisi lisan sebagaimana diceritakan di atas, maka pantas diduga dan membuka kemungkinan bahwa Nadaoya merupakan grup manusia purba yang berhabitat di dalam gua dengan ciri khas kepala besar, primitif dan menganut hukum rimba. Mereka juga sudah hadir di pulau Nias sebelum kedatangan etnis lain. Dengan demikian, mereka bukanlah setan raksasa. Mereka semakin ganas karena terpojok dan tidak memiliki tempat lagi untuk berkembang, karena alam telah dirusak oleh manusia yang memiliki pengetahuan.

Tulisan-tulisan lama dan otentik mengenai masyarakat Nias seperti ditulis oleh Pastor Johannes (2001:13-19) lebih banyak menguraikan munusia yang berkulit putih dan cantik-cantik yang berhabitat di atas pohon atau di puncak-puncak gunung. Juga dijelaskan kebiasaan berburu kepala manusia oleh penduduk setempat. Tetapi mengenai manusia yang tinggal di dalam gua-gua kurang disentuh.


Kepunahan Manusia Purba

Ada beberapa penyebab mengapa manusia purba di Nias menjadi punah, misalnya:

1. Hukum rimba

Manusia purba menganut hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang yang hidup dan berkembang. Ketika etnik lain sebagai pendatang baru di Nias dengan berbagai pengetahuan dan keahlian datang, mereka jelas jauh lebih kuat dari para penghuni pulau Nias yang terdahulu. Sebab, mereka tidak hanya mengandalkan otot dalam menguasai alam untuk mempertahankan hidup, tetapi juga otak. Hukum rimba ini terlihat dari kebiasaan mereka berburu kepala manusia, sehingga kelompok yang lemah menjadi habis (punah). Selain berburu kepala manusia (mangai högö), permusuhan dan peperangan antar kelompok (kampung) sering terjadi, sehingga yang kuat bertahan hidup dan yang lemah menjadi punah.

Sisanya mengasingkan diri dan termajinalkan karena kalah bersaing dalam pembangunan dan pengembangan hidup. Mereka hanya mengadalkan alam yaitu hutan sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang selalu berubah dan berkembang. Permusahan dan peperangan itu bisa juga terjadi karena perbedaan etnik.


2. Hutan habis

Berhubung karena manusia purba seperti kelompok Sowanua dan Nadaoya bergantung pada alam, ketika alam rusak dan hutan habis dibabat secara liar, maka habitat mereka semakin terjepit. Tidak ada tempat dan sumber makanan untuk dapat bertahan hidup. Maka mereka tidak berkembang.


3. Pembauran melalui perkawinan

Di antara kelompok manusia yang telah kian ada dengan pendatang baru, pasti telah terjadi perkawinan. Apa lagi seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok Sowanua itu cantik-cantik. Sudah barang tentu mereka dikawini secara suka atau tidak suka oleh pendatang yang lebih pintar. Mereka bagaikan gadis desa yang lugu tetapi cantik yang selalu menjadi incaran para pria dari kota sebagaimana terjadi pada zaman sekarang. Keturunan mereka tidak lagi disebut sebagai grup Sowanua/Bela atau Nadaoya, akan tetapi mengikuti garis keturunan kelompok manusia yang lebih berpengaruh dan berkuasa.


Darimanakah asalnya Sowanua dan Nadaoya?

Jika Sowanua dan Nadaoya adalah penghuni terdahulu pulau Nias, itu berarti bahwa keturunan mereka pasti masih ada sampai sekarang, walaupun mereka tidak lagi murni sebagai keturunan itu karena telah terjadi percampuran melalui proses perkawinan dengan etnis lain sejak ratusan tahun yang lalu. Untuk menyelidiki asal usul masyarakat Nias, maka harus ditelusuri dari mana asal Sowanua dan Nadaoya. Karena mereka-lah kelompok terbesar dan terdahulu yang menghuni pulau Nias. Hal inilah yang belum dilakukan oleh para peneliti. Mungkin bisa dijejaki melalui studi comparative linguistics atau penelitian DNA terhadap kelompok yang diduga sebagai asal-usul mereka dari luar negeri (Suku Belah di Sumatera, Suku Naga di India, dll) sebagaimana dikemukakan oleh Pastor Johannes.


Penelitian di Gua Tögi Ndrawa

Penelitian Museum Pusaka Nias bekerjasama dengan Drs. Yusuf Ernawan, M.Hum, ahli prasejarah dari Universitas Airlangga Surabaya di gua Tögi Ndrawa, desa Lelewönu Niko’otanö, kecamatan Gunungsitoli membuktikan bahwa gua tersebut telah dihuni oleh manusia purba sekitar 9000 tahun yang lalu, persis dari tahun 7570 ke 7145 SM (Lingua Nias, Media Warisan Edisi 39 hal 5).

Penelitian melalui ekskavasi dilanjutkan lagi oleh Badan Arkeologi Medan yang telah tiga kali melakukan ekskavasi sedalam 283 cm pada gua yang sama. Hasil dating penelitian ini masih ditunggu. Namun para ahli berasumsi bahwa gua tersebut telah dihuni sekitar 15.000 tahun yang lalu pada zaman Hoa Binh.


Penutup

Tradisi lisan Nias yang didukung oleh hasil penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai indikasi dan dasar untuk menarik kesimpulan bahwa ada beberapa etnis yang berbeda di Nias. Yang terdahulu di antara mereka adalah kelompok Sowanua yang berhabitat di atas pohon dan grup Nadaoya dll (Laturedanö, Tuhanaröfa, Lowalani, Zihi, Sihambula) yang tinggal di dalam gua (arö danö). Sementara kelompok yang datang kemudian adalah etnis Cina dan etnis lain yang memulai perubahan dan perkembangan di pulau Nias karena pengetahuan dan keahlian yang telah mereka miliki dari negeri asalnya. Jadi anggapan bahwa Nadaoya dan Sowanua atau Bela adalah setan merupakan pemahaman manusia modern yang dangkal terhadap manusia purba yang hidupnya sangat primitif.


Penulis: Nata’alui Duha, S.Pd.

Wakil Direktur Museum Pusaka Nais

sumber: http://mediawarisan.wordpress.com/2007/08/02/sowanua-dan-nadaoya-manusia-pertama-penghuni-pulau-nias/

Pulau Nias dulu dan sekarang sangat banyak menarik kepentingan baik wisatawan dan antropolog karena arsitektur khusus dari desa-desa dan banyak patung-patung batu dan benda lainnya. Kombinasi yang juga ditemukan di tempat lain di Sumatera. Dalam foto itu digambarkan batu untuk kursi kepala desa. The raksasa yang menghiasi belakangnya, muncul sebagai elemen utama dalam paruh burung enggang. Tidak seperti 'tetangga' mereka, Mentawaiyang egaliter, Nias sangat teratur secara hirarkis. Hal ini terbukti dari kursi tinggi untuk bangsawan mereka. (P. Orchard, 2001). Bocah di sebelah kursi batu kepala desa Hilisimetano.


Manusia di samping patung batu

Kuburan batu berbentuk piramida di Holi, Nias

Megalit di pinggir jalan, 1915-1932

sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/


 Sekelompok laki-laki Nias


Kepala Keluarga di Nias Utara

Objek dalam foto ini adalah pencatatan departemen foto seorang KIT 'lailuwo' disebut, dalam buku Museum Nusantara di Delft di Nias adalah kursi yang sama: osa'osa. Kursi adalah rakasa dan ekor, antaranya diduduki oleh seorang senior, kepala, dan oleh nenek moyang (1990:30) .. Batu kursi dalam bentuk hewan, Nias.

Osa'osa dan seorang pria dengan kursi batu bulat yang seorang kepala desa di satu perayaan

sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/


Pemerintahan Asli Suku Nias (Bagian I)
Monday, August 17, 2009
By nias

Catatan Redaksi: Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke 64 Kemerdekaan Indonesia, Nias Online menyajikan sebuah rangkai tulisan berjudul “Pemerintahan Asli Suku Nias” yang diambil dari buku yang disusun oleh Tim Penyusun Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias (1987). Redaksi melakukan penyuntingan bahasa tanpa mengubah isi. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi generasi muda Nias dan bagi pengunjung Nias Online umumnya.

Pemerintahan asli suku Nias adalah bentuk pemerintahan adat yang terdiri dari dua tingkatan yaitu:

Banua yang dipimpin oleh Salawa (istilah Nias bagian Utara) atau Si’ulu (istilah Nias bagian Selatan).
Õri yaitu merupakan perluasan dari BANUA yang dipimpin oleh Tuhenõri atau Si’ulu.
Dalam setiap kesatuan masyarakat Hukum, baik tingkat BANUA maupun tingkat ÕRI terdapat satu badan Pemerintahan adat (eksekutif) dengan susunan sebagai berikut:

Sanuhe (asal kata: Tuhe): Sanaru’õ / Samasindro, artinya yang mendirikan atau ketua.
Tambalina: Wakil dari Sanuhe.
Fahandrona: Juru bicara atau setara dengan Humas di zaman sekarang.
Sidaõfa sampai dengan sifelendrua: Para anggota dari dewan pimpinan tersebut.
Keempat pilar ini secara simbolis biasanya diwujudkan pada keempat tiang utama dalam rumah adat Nias.

Dewan pimpinan dalam bahasa Nias di kenal dengan istilah SITE’OLI. Baik di tingkat BANUA maupun di tingkat ÕRI seuua SITE’OLI (Dewan Pimpinan) disebut SALAWA. Yang berkedudukan dan berfungsi di BANUA di sebut SALAWA MBANUA dan yang berkedudukan di tingkat ÕRI di sebutSALAWA NÕRI.

Masyarakat umum dewasa ini mengenal istilah SANUHE (yang kini di sebut Ketua) untuk tingkat BANUA yang lazim disebut SALAWA dan di tingkat ÕRI disebut TUHE NÕRI.

Pemerintahan adat suku Nias juga mengenal adanya lembaga legislatif yang di sebut FONDRAKÕ, yaitu suatu badan musyawarah dari tokoh – tokoh adat untuk menetapkan hukum tentang berbagai bidang kehidupan dalam suatu kelompok masyarakat (dapat berupa kelompok marga) dalam suatu wilayah tertentu dengan sangsi-sangsinya yang yuridis dan sakral yang sangat keras.

Embrio dari Fondrakõ Ono Niha telah dimulai sejak penyerahan pemukiman pertama oleh nenek moyang HIA WALANGI ADU di GOMO SAHAYAHAYA. Suku Nias mengakui bahwa induk FONDRAKÕ seluruh Ono Niha adalah FONDRAKÕ BÕRÕNADU di Gomo; dari sanalah kemudian berkembang berbagai FONDRAKÕ di daerah Nias yang sudah barang tentu telah mengalami berbagai perobahan dan bervariasi menurut keadaan lingkungan masing-masing.

Misalnya di Nias bagian Selatan istilah Fondrakõ sama dengan Famadaya Harimao / Famadaya Saembu; sekalipun demikian sanksi dan ritus dari apa yang telah di-rakõ pada FONDRAKÕ induk tidak diubah karena jiwanya sangat sakral serta ada hubungannya dengan kepercayaan tradisionil Suku Nias pada waktu itu yang masih menyembah berhala atau againa animisme.

Bila pada suatu daerah pemukiman yang belum mencanangkan Fondrakõ terjadi bala seperti penyakit yang menyerang manusia, penyakit hewan piaraan, hama tanaman atau daerah itu diperangi oleh sekelompok manusia dari wilayah yang lain, maka para tua-tua adat mencari sebab musabab bala itu. Tua-tua adat mencari di antara mereka siapa keturunan yang dituakan; orang itulah yang didukung untuk menjadi TUHE WONDRAKÕ, sedang yang lain-lain menjadi staf dan pendukung yang mutlak dan setia. Segala biaya pelaksanaan dipikul bersama. Bila di daerah itu bemukin berpuluh-puluh kelompok yang berdekat-dekatan dan berbatasan tanah perladangannya dan terdiri dari beberapa mado, maka kelompok-kelompok ini akan menjadi suatu daerah/lingkungan SI SAMBUA FONDRAKÕ; keturunan yang dituakan tadi menjadi TUHE WONDRAKÕ (TUHE NÕRI WONDRAKÕ).

FONDRAKÕ dapat disebut FONDRAKÕ BAUWU NENE kalau fondrakõ itu dilaksanakan di suatu lapangan yang berpasir atau di pinggir laut / sungai. Kalau pelaksanaan itu dilakukan pada sebuah bukit/gunung (hili) maka fondrakõ itu disebut FONDRAKÕ BAUWU HILI. Kalau ia dilakukan di bawah sebatang kayu yang dikeramatkan seperti ewo (beringin) maka disebut FONDRAKÕ BA MBÕRÕ GEWO; dan kalau dilakukan di bawah pohon fõsi maka disebut FONDRAKÕ BA MBÕRÕ WÕSI. Fondrakõ inilah Fondrakõ terbesar (induk) bagi mereka yang terlingkung dalam wilayah itu tadi.

sumber: http://niasonline.net/2009/08/17/pemerintahan-asli-suku-nias-bagian-i/
Sekelompok orang Tari Lahoesa, Nias Selatan

Interior adathuis di Nias dengan ukiran-ukiran dan dua orang duduk

sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/

Studio potret dari kelompok perempuan menari dari Nias Selatan

Potret dari kelompok wanita dengan hiasan kepala di sebuah rumah di Nias, dengan di belakang mereka seorang pria di dinding tertulis teks

sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/


Pemerintahan Asli Suku Nias (Bagian II)
Tuesday, August 18, 2009
By nias

Seperti diterangkan di bagian pertama tulisan ini, daerah Fondrakõ itu terdiri dari beberapa kampung atau desa, yang disebut banua yang di dalamnya bergabung beberapa banua hada (desa adat) yang masing-masing mempunyai sanuhe dan stafnya. Para yang dituakan dari masing-masing kampung tadi menghimpun tua-tua kampungnya dan melaksanakan pula fondrakõ itu di dalam kampungnya. Fondrakõ ini di sebut Fondrakõ ba Mbalõ Mbanua.

Karena di dalam kampung atau desa tadi telah ada beberapa banua hada, maka masing-masing banua hada melaksanakan pula pengumuman dan pelaksanaan fondrakõ itu dalam kelompok masing-masing, inilah yang disebut Fondrakõ Barõ Nadu.

Ada kalanya orang-orang yang serumpun tetapi tidak se-banua hada, mempererat persaudaraan / pertalian kekeluargaan mereka dengan melakukan perpakatan fondrakõ yang disebut Fondrakõ ba Ngafu yang turut dihadiri oleh para fadono (semenda) dan famili terdekat.

Keturunan dari orang yang memancangkan fondrakõ itu pada pertama kalinya yang meneruskan pelaksanaan fondrakõ itu di kemudian hari.

Bila di kemudian hari dirasa perlu meninjau beberapa materi Fondrakõ misalnya karena terjadi bala, maka merupakan keharusan bagi keturunan pemancang Fondrakõ itu melakukan musyawarah untuk melaksanakan Manotou Fondrakõ. Dan apabila nilai-nilai hukum yang telah dipatok sanksinya terlalu berat, maka diadakanlah peninjauan yang disebut Mombuwu (melonggarkan, memgurangi – Red).

Perlu kiranya diterangkan bahwa Fondrakõ Ono Niha berlandaskan lima dasar utama yaitu:
1. Fo’adu – Pemujaan patung
2. Fangaso Fa’ehowu – Pemilikan harta terberkati
3. Fo’õlõ’õlõ – pembudidayaan keindahan (kesenian)
4. Fobarahao – urusan kemasyarakatan
5. Bõwõ masimasi – hubungan dalam pengasihan


Pelaksanaan dasar yang lima itulah yang dihukumkan dan menjadi ketentuan – ketentuan yang wajib dita’ati oleh seluruh warga, dan ancaman-ancaman hukum yang bersifat sakral dan nyata turut diserukan dan diumumkan, dibarengi dengan pelaksanaan ritusnya.

Pengumuman ancaman/sanksi yang sifatnya sakral itu adalah sebagai berikut. Pada suatu lapangan tempat melaksanakan musyawarah Fondrakõ itu dipersiapkan:

a. Sebuah unggun api, yang terdiri dari kayu diho semata-mata; lebar, tinggi dan panjangnya masing-masing 5 hasta.

b. Sebuah patung berkala Fondrakõ yang diperbuat dari kayu Esõni yang disebut Golu Wondrakõ. Di hadapan berhala ini, didirikan sebuah tonggak batu yang menyerupai meja bundar; di atas bundaran itu diletakan sebuah piring / pinggan besar, yang disebut Figa Lame. Di atas pinggan ini, diletakkan:
• Lauru (kulak) yang telah ditetapkan sebagai contoh bagi seluruh daerah itu.
• Di dalam lauru, ditegakkan afore dan digantungkan Fali’era (timbangan) bersama-sama saga ni’omanumanu dan saga bua geu serta balõ gondrekhata.
• Di dalam bulatan yang terpegang oleh Siraha Golu Wondrakõ, diletakkan hamo-hamo gana’a (emas yang menyerupai pasir / abu, hasil dari pengikiran, bulu surai babi yang dipotong sebagai sesajen dengan segala isi rongga dada babi (hati, jantung, paru-paru, limpa dan buah pinggang).
• Seperangkat lengkapan sirih (sirih, pinang, gambir, kapur dan tembakau).

c. Di sebelah kiri unggun, dipancangkan sebuah patung berhala lain, yang dibuat dari sebatang jelatang yang masih hidup, yang disebut Siraha Lato. Pada batang patung berhala jelatang ini, diikatkan:
- 9 batang lidi kelapa bekas serangan halilintar
- 1 buah mayang kelapa yang masih kuncup
- 1 ekor ayam jantan berbulu hitam/merah
- 1 ekor anjing jantan berbulu hitam/merah
- 1 buah kapak yang panjangnya sejengkal

Setelah siap seluruhnya, maka imam (ere) fondrakõ mengumumkan semua apa yang telah ditetapkan sambil memukul fondrahi (sejenis tambur) sambil berseru:
Mi’erõnu ono wobanua,
mi’erõnu ono mbarahao,
yae mege goroisa langi,
yae mege goroisa luo,
oroisa lowalangi ba ndrege,
oroisa lowalangi luo zaho,
oroisa fangazõngazõkhi,
oroisa fangehangehao
…. dst.

Selanjutnya ia menjejerkan segala hukum, segala ukuran, segala takaran, hubungan antar manusia, cara memiliki harta dan lain sebagainya.

Kemudian ulama Fondrakõ mengucapkan hukuman-hukuman bagi pelanggar, sebagai berikut:
Bõi gõ manawõ Fondrakõ: haniha zanawõ, ya afatõ waha
Bõi gõ sumui wondrakõ: haniha zanui, ya ateu mbagi
Bõi nõnõ wondrakõ: haniha zonõnõ, ya asila dõdõ, ya aboto dalu
Bõi alõsi wondrakõ: haniha zangalõsi, ya asila hulu ya aeru waha
Bõi r’au dan bõi osilõ’õgõ wondrakõ: haniha zondra’u ba sangosilõ’õgõ fondrakõ, ba danõ lõ mowa’a, ya lõ molehe ba mbanua, aetu nungo gõtõ-gõtõ, ya gõ mate lõ lewatõ, ya si taya lõ mila zau

Terjemahan bebas dari Redaksi:
Jangan melanggar fondrakõ (hukum adat) – yang melanggar semoga patah pahanya
Jangan membelakangi / menyepelekan fondrakõ – siapa yang menyepelekan semoga lehernya putus
Jangan menambah fondrakõ – yang menambah semoga terbelah jantungnya, semoga pecah perutnya
Jangan mengurangi fondrakõ - siapa yang mengurangi semoga punggungnya terbelah, semoga pahanya mengecil
Jangan menyangkal fondrakõ - siapa yang menyangkal semoga tak berakar di bumi, tak bertunas di langit, putus keturunannya, mati tiada berkubur, hilang tak berkabar.
(bersambung)

Sumber: Buku Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias (1987)

sumber: http://niasonline.net/2009/08/18/pemerintahan-asli-suku-nias-bagian-ii/

Pria selama berburu dengan anjing di Nias

Pria Nias pada kostum militer

sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/

Pertempuran palsu oleh sekelompok anak laki-laki melompat di atas batu, Nias, 1930


 Dua orang dari Nias Selatan berpakaian lokal

Pemerintahan Asli Suku Nias (III)
Wednesday, August 19, 2009
By nias

e. Selanjutnya, ere wondrakõ menghampiri Siraha Lato, sambil mengarahkan telapak tangannya di atas benda-benda ritus (lidi, mayang kelapa, ayam, anjing dan kapak) yang berada pada siraha lato mengucapkan mantera-mantera antara lain:

Noso zanawõ fondrakõ, sumange zanawõ oroisa,
ya mõi lifilifi wondrakõ, ya mõi lifilifi goroisa
ya ondria mane nibõzi likhe, ya mondria mane sõfu latowa;
ba dõla zanawõ fondrakõ, ba dõla zilalõi oroisa
Aoha gõlõ nuwu wo’ere, aoha gõlõ nuwu mbesoa;
d.s.t.

Selanjutnya ere wondrakõ mengambil lidi yang 9 batang, mematah-matahkannya, di atas unggun api diho yang sedang menyala, meremas-remas lidi itu sambil membaca mantera-mantera lifi-lifi (kutukan) wondrakõ, yang berbunyi:

“Ya’e wamaedo zanawõ fondrakõ, ya’e wamaedo zanawõ oroisa”, (ini contoh pelanggar, ini contoh pelanggar perintah – red.)
lantas lidi yang diremas-remas itu dicampakkan kedalam unggun api.

Lidi itu sebentar saja telah hangus dilalap api.

Demikianlah selanjutnya, mayang kelapa yang masih kuncup dibuang bulat – bulat ke dalam unggun api sambil mengumpamakan mayang itu badan orang yang melanggar fondrakõ; dan sebentar saja mayang itu meledak dan isinya bertaburan ke dalam api.

Selanjutnya, sebungkal timah dilebur sampai cair dan langsung dituangkan ke dalam kerongkongan ayam melalui paruhnya sambil memutar dan mematahkan leher, sayap dan kakinya lalu dibuang ke dalam api unggun sambil membacakan mantera-mantera kutuk yang mengumpamakan ayam itu sebagai diri orang yang melanggar fondrakõ.

Kemudian anjing, yang sudah dipersiapkan, kakinya diikat dan langsung dibuang hidup-hidup ke dalam api unggun, sambil membacakan mantera dan mengumpamakan bahwa anjing yang dibakar hidup-hidup itu, sebagai orang yang melanggar fondrakõ.

Terakhir, kapak tadi ditanamkan ke batang kelapa. Sebuah godam yang dibuat dari kayu manawa (alaban), sambil membcakan mantera-mantera, martel kayu (godam)- bagowahõ sezai laoyo matua – dihantamkan pada punggung kapak itu secara bergantian oleh seluruh tua-tua adat yang hadir di tempat itu, sampai akhimya kapak tadi terbenam ke dalam batang kelapa atau batang kayu itu, yang menggambarkan kematian tanpa kubur orang yang melanggar fondrakõ.

f. Setelah semuanya itu selesai, ere wondrakõ menuangkan air dingin pada figa lame yang berisi hamo-hamo gana’a; air ini disiramkan pada ukuran timbangan takaran dan terakhir disiramkan / dituangkan pada kaki Golu Wondrakõ. Selanjutnya sisa air dingin tawar itu, disiramkan kepada khalayak ramai yang hadir, sambil mengucapkan mantera mantera pemberkatan agar semua warga menaati hukum-hukum yang tertera di dalam fondrakõ itu.

Sumber: Buku Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias (1987)

Budaya Nias, Asal Usul dan Kematian
I. Latar belakang
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias.[1] Orang Nias menyebut diri mereka sebagai Ono Niha (anak manusia). Kemudian pulau Nias disebut sebagai Tanő Niha (tanah manusia). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam hukum adat dan kebudayaan yang sangat kental. Hukum adat Nias secara umum disebut fodrakő yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Jauh sebelumnya, masyarakat Nias primitif hidup dalam budaya megalitik. Hal ini terlihat dari peninggalan sejarah seperti artefak-artefak yang masih ditemukan di banyak wilayah pedalaman pulau Nias sampai sekarang ini.

Masyarakat Nias juga mengenal sistem kasta. Ada dua belas tingkatan kasta. Dari tingkatan kasta yang ada, yang tertinggi adalah “Balugu”. Untuk mencapai tingkatan ini, seseorang harus mampu mengadakan pesta besar selama berhari-hari dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ratusan/ekor babi. Biasanya orang-orang yang melakukan ini adalah mereka yang memiliki harta dan emas.

a). Mitologi:
Menurut masyarakat Nias, dalam sebuah mitos, orang Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora’a yang terletak disebuah tempat yang bernama Tetehőli ana’a. Mitologi Nias ini terdapat dalam hoho[2]. Dalam hoho diceritakan bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Lowalangi[3] (Untuk selanjutnya saya lebih suka menggunakan istilah ”pencipta”) dari beberapa warna udara yang ia aduk dengan tongkat yang bernama sihai[4]. Dewa pencipta terlebih dahulu menciptakan pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora’a. Pohon ini berbuah dua butir buah yang segera dierami oleh seekor laba-laba emas. Kemudian lahirlah sepasang dewa pertama, yang dinamakan Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a berjenis kelamin laki-laki dan Burutiroangi Burutiraoana’a berjenis kelamin perempuan.[5] Keturunan mereka inilah yang kemudia dikenal sebagai dewa Sirao Uwu Zihõnõ sebagai rajanya.

Mitos asal usul masyarakat Nias pun, dimulai sejak zaman raja Sirao. Dewa ini memiliki tiga istri yang masing-masing beranak tiga putra. Di antara kesembilan putranya ini timbul pertengkaran yang sengit, yaitu mereka memperebutkan tahta Raja Sirao ayah mereka. Melihat situasi ini, Sirao mengadakan sayembara di antara putra-putranya. Intinya, siapapun yang mampu mencabut tombak (toho) yang telah dipancangkan di lapangan depan istana itulah yang berhak menggantikan-nya. Satu persatu putranya mulai dari yang tertua datang mencoba mencabut tombak tersebut. Tapi tak satupun berhasil. Kemudian anak yang paling bungsu yang bernama Luo Mĕwõna[6] (Lowalangi) datang mencabutnya dan akhirnya berhasil.

Kakak-kakaknya yang kalah dalam sayembara tersebut diasingkan dari Tetehõli ana’a, dan dibuang ke bumi, tepatnya di pulau Nias. Dari kedelapan putra Sirao yang dibuang ke dunia (Pulau Nias) hanya empat orang yang dapat sampai di empat tempat di pulau Nias dengan selamat dan akhirnya menjadi leluhur orang Nias. Ke-empat orang lainnya mengalami kecelakaan. Baewadanõ Hia karena terlalu berat, jatuh menembus bumi dan menjelma menjadi ular besar yang bernama Da’õ Zanaya Tanõ sisagõrõ[7] (dialah yang menjadi alas/fondasi seluruh bumi). Jika dia bergerak sedikit saja, maka bumi akan bergoncang dan terjadilah gempa bumi. Agar dapat hidup, naga ini diberi makan oleh burung setiap hari.
Yang lain jatuh ke dalam air dan menjadi hantu sungai, pujaan para nelayan. Dia sering disebut hadroli[8]. Ada yang terbawa angin, dan akhirnya tersangkut di pohon dan menjelma menjadi hantu hutan, pujaan para pemburu. Makluk ini sering disebut ”Bela”[9]. Ada juga yang jatuh di daerah Laraga yang kondisi tanahnya penuh batu-batu (12 Km dari Gunung Sitoli) menjadi leluhur orang-orang berilmu kebal.


b). Penelitian Arkeologi
Telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif[10] dan di Kompas,[11] Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal-usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.[12]

Marga Suku Nias: Suku Nias terdiri dari beberapa marga diantaranya : Amazihönö, Beha, Baene, Bate’e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, dan masih banyak lagi. Fungsi marga adalah menunjukkan garis keturunan dan asal seseorang. Termasuk mengenal famili, sejauh mana garis keturunan dan bisa tau tidak mereka menikah.

II. Religiositas Masyarakat Nias
a). Lani, Langi
Tradisi lisan Nias sering berbicara tentang langit (lani, langi), tentang lapisan langit yang satu (lani si sara wenaita), ada juga langit yang berlapis sembilan (lani si siwa wenaita) dan tentang seorang leluhur yang bernama satu langit (lani sagörö) atau langit yang satu itu (lani sisagörö). Nama ini dulu sebenarnya bukan Lowalani melainkan Lawalani artinya yang ada di atas langit. Bahasa sehari-hari di Nias Selatan sampai sekarang tetap mempertahankan kebiasaan lama dan mengatakan lawa (atas) dan bukan seperti Nias Utara yang menyebutnya yawa (atas). Pemakaian istilah Lowalangi sebenarnya dipopulerkan oleh seorang misionaris Denniger pada tahun 1865. Ia memilih kata Lowalangi sebagai nama Allah bagi pengikut ajaran Kristen di Nias. Ada kemungkinan saat itu ia belum mengetahui sebutan tradisi Lawalani di Nias Selatan. Walaupun demikian istilah ini diterima juga oleh orang Nias Selatan yaitu yang berada di atas langit.

Menurut versi Pastor Johannes M. H. Orang Nias tidak mengharapkan firdaus dalam hidup yang akan datang, tidak pula suatu neraka. Baik hukuman maupun imbalan tidak mereka harapkan. Karena orang Nias percaya, bahwa semuanya akan berakhir. Maka orang Nias tidak takut akan sesuatu dan mengharapkan sesuatu. Hanya inilah yang merupakan imbalan atau hukuman bagi orang Nias. Mereka yang sudah meninggal dipandang terhormat dan terburuk. Selain itu mereka pasrah saja pada nasib mereka dengan hati tenang.[13] Akan tetapi, versi ini diragukan kebenarannya karena pada kenyataanya orang Nias masih percaya pada arwah leluhur dan peranannya bagi kehidupan. Bisa dilihat dari patung-patung (Nadu) yang dianggap sebagai tempat roh leluhur bisa hadir. Selain itu, konsep tentang adanya dunia orang mati juga dipercaya yaitu Tetehõli ana’a.

Bagi orang Nias, setelah meninggal semuanya akan punah. Manusia yang meninggal akan menjadi makanan cacing dan lalat yang besar (ö gulö-kulö, ö deteho) seperti dinyanyikan dalam Hoho yang tertinggal hanyalah ”Nama kebesaran” (töi sebua) dan ”kemuliaan” (lakhömi). Sasaran dari pesta-pesta besar (owasa fatome) yang dirayakan di Nias pada zaman dulu adalah untuk mendapat nama yang mulai (töi so-lakhömi).[14]

b). Agama Asli Orang Nias
”Pĕlĕbĕgu adalah nama agama asli diberikan oleh pendatang yang berarti ”penyembah ruh”. Nama yang dipergunakan oleh penganutnya sendiri adalah molohĕ adu (penyembah adu). Sifat agama ini adalah berkisar pada penyembahan ruh leluhur.”[15] Meskipun tidak ada konsep kehidupan setelah kematian menurut versi Pastor Johannes M.H, tapi dalam kepercayaan ini terdapat praktik penyembahan roh-roh para leluhur (animisme). Para leluhur itu perlu dikenang, terutama atas jasa-jasa mereka (Nama Besar dan Kemuliaan). Kepercayaan ini termanisfestasi dalam bentuk adu. Orang Nias percaya bahwa patung-patung (adu) itu akan ditempati oleh roh-roh leluhur mereka, karena itu harus dirawat dengan baik.

”Menurut kepercayaan umat Pĕlĕbĕgu, tiap orang mempunyai dua macam tubuh, yaitu tubuh kasar (boto) dan tubuh halus. Tubuh halus terbagi dua, yaitu noso (nafas) dan lumõmõ-lumõ (bayangan). ”Jika orang mati botonya kembali menjadi debu, nosonya kembali pada Lowalangi (Allah). Sedangkan lumõ-lumõnya berubah menjadi bekhu (roh gentayangan)”.[16] Orang Nias percaya, selama belum ada upacara kematian, bekhu ini akan tetap berada di sekitar jenazahnya atau kuburannya. Agar bisa kembali ke Tetehõli ana’a (dunia roh), setiap roh harus menyeberangi suatu jembatan antara dunia orang hidup dan dunia orang mati. Dalam perjalanan itu, semakin roh itu berjalan, jembatannya semakin mengecil bahkan sampai sekecil rambut. Hal itu akan dialami oleh roh-roh yang banyak melakukan kejahatan selama hidupnya. Akhirnya ia akan jatuh dan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Akan tetapi, bila selama hidupnya ia baik, jembatannya tidak menyempit sehingga perjalanan mulus dan sampai ke Tetehõli ana’a.



  Dalam paham agama asli ini, roh tersebut jika sudah sampai ke dunianya, akan melanjutkan kembali hidupnya seperti di dunia ini. Kalau dulu semasa hidup dia seorang raja maka di dunia seberang (Tetehõli ana’a) juga ia akan tetap menjadi raja dan yang miskin akan tetap miskin di dunia seberang nanti. Dunia Tetehõli ana’a ini keadaanya ”terbalik”. Apa yang baik di dunia ini, di sana akan jadi buruk. Maka ada kebiasan, orang-orang Nias, bila menitipkan baju dan barang-barang lainnya, semua barang itu dirusak. ”Pebedaan dunia sana dengan dunia sini hanya terletak pada keadaan ”terbalik”, yaitu jika di sini siang di sana malam demikian juga kalimiat dalam bahasa di sana adalah serba terbalik.”[17]


III. Dua Upacara Penting Dalam Upacara Kematian

a). Famalakhisisi/Fatomesa (Perjamuan terakhir)
Famalakhisisi adalah perjamuan terakhir bagi orang tua yang sudah mau meninggal. Kata lain dari famalakhisisi ini adalah La’otome’õ (kata kerja) artinya dijadikan tamu, fatomesa (kata benda), orang yang sudah mau meninggal akan diupacarkan yang disebut laotome’õ.

Tradisi budaya Nias sampai hari ini masih melakukan ritual Famalakhisisi atau fatomesa ini. Ritual ini biasanya dilakukan pada orang tua yang sudah sakit-sakitan dan mau meninggal.

Famalakhisi (Perjamuan terakhir kali) diadakan bagi ayah yang sudah hampir tiba ajalnya oleh para putranya, setelah ia memberkati serta memberi doa restu kepada mereka. Pada kesempatan ini si ayah dihidangkan daging babi. Upacara ini harus dihadiri oleh putra-putranya terutama yang sulung, karena tanpa berkah doa restu ayahnya, kehidupan anak tersebut akan mengalami banyak rintangan.[18]

Peranan anak laki-laki khususnya anak sulung sangat penting. Anak sulung dipandang sebagi pengganti Ayah dan menjadi pemimpin bagi saudara-saudaranya yang lain. Meskipun peranan anak perempuan tidak begitu ditekankan, tapi mereka wajib datang dan membayar utang mereka sama seperti saudaranya laki-laki.

Di saat-saat terakhir seperti ini, semua anak dan cucunya datang mengunjunginya. Kedatangan mereka pertama-tama adalah untuk memberikan penghormatan terakhir pada orang tua. Orangtua dalam perspektif orang Nias adalah Tuhan di dunia. Sebagai Tuhan yang tampak harus dihormati dan disembah. Maka berkat orang tua, khususnya saat akhir hidupnya diyakini sangat menentukan hidup mereka dikemudian hari.

Tujuan utama Famalakhisi atau fatomesa ini adalah mendapat berkat (howu-howu) dari Orangtua yang hendak meninggal. Sebaliknya kalau ritual ini tidak dihadiri (dengan sengaja) oleh salah seorang anaknya, diyakini bahwa dia akan menjadi anak yang durhaka (tefuyu) dan akan hidup dalam ketidakcukupan atau tidak mendapat rejeki dalam hidupnya (ha sifangarö-ngarö ba kaudinga). Maka momen fatomesa ini adalah peristiwa yang sangat berharga. Hal itu menandakan bahwa mereka adalah anak yang selalu tunduk dan turut pada orang tua (ono salulu-lulu khö jatua nia). Karena ketaatan pada orang tua tersebut, mereka akan mendapat berkat darinya dan hidupnya akan lebih baik.

Dalam acara Famalakhisi atau fatomesa ini, anak-anak dan cucu-cucu dari orang tua yang hendak meninggal akan memestakannya dan makan bersama sebagai tanda penhormatan terhadap orang tua atau kakek mereka. (Dan) Seandainya, kalau ia meninggal, ia pergi dalam keadaan kenyang dan bahagia karena dikelilingi anak-anaknya.
Berdasarkan pengalaman, di Lahõmi (kampung saya), ketika seseorang sudah sakit parah, semua anggota keluarga kumpul , bahkan dari kampung-kampung lain dan memberi makan (mame’e õ) si sakit. Tentu saja menyembelih anak babi. Setelah berdoa, lalu si sakit diberi makan oleh anggota keluarga, mulai dari yang tertua. Ini suatu kepercayaan (pesan tersirat) bahwa kita masih berharap Anda (si sakit) masih tetap kuat dan bertahan, namun seandainya kamu harus pergi, kami tidak terlalu menyesal karena kamu pergi dengan kenyang. Kami sudah melayani dengan baik sehingga seandainya engkau pergi meninggalkan kami, kamu tidak perlu mencari kami atau mengganggu kami lagi. (Ingat: orang Nias percaya pada “bekhu.” (setan) Nah, bekhu ini dalam kepercayaan orang Nias, bisa mengganggu orang yang masih hidup).[19]

3. Fanõrõ satua dan Fangasi
Fanõrõ satua adalah upacara pemakaman kedua dari yang wafat. Upacara ini bermaksud untuk ”mengantarkan” rohnya ke alam baka (Tetehõli ana’a)”[20]. Upacara-upacara ini bersifat potlatch yaitu unsur memamerkan kekayaan agar menaikkan gengsi keluarga dan terpandang di masyarakat. Sebab bagi orang Nias yang paling penting dalam hidup adalah Lakhõmi (Kemuliaan) atau Tõi (Nama) keluarga. Biasanya dalam upacara-upacara ini, keluarga orang yang telah meninggal akan mengadakan pesta besar-besaran. Dalam upacara ini, mereka memamerkan kekayaan dengan memotong babi ratusan ekor dan membagikan kepada sanak keluarga, kerabat dan orang sekampung bahkan dengan kampung tetangga. Namun upacara ini tidaklah bersifat wajib. Hanya bagi orang-orang tertentu saja yang memiliki harta dan uang.

Sinonim dari fanõrõ satua adalah fangasi. Bagi orang yang meninggal, harus ada fangasi terjemahan harfiahnya adalah penebusan (redemption). Tapi fangasi bisa juga disebut fangasiwai artinya penyelesaian. Maka fangasi ini bisa dikatakan lebih menekankan pada penyelesaian upacara bagi orang yang telah meninggal.
Dalam perspektif orang Nias fangasi tidak sekedar penebusan orang yang sudah meninggal melainkan sebuah perayaan dan penghormatan sekaligus pengenangan. Selain itu, juga saat melunasi hutang-hutangnya jika masih ada. Fangasi ini adalah semacam pesta bagi orang yang masih hidup sebagai tanda bahwa mereka sudah merelakan kepergian almarhum. Pesta ini biasanya diadakan empat hari setelah yang meninggal dikuburkan. Ritual ini dikenal sebagai fananő bunga (menanam bunga) di pusara yang sudah meninggal.

Ritual yang pertama sekali diadakan adalah pada pagi hari keluarga beserta kenalan dekat datang ke kuburan dan menanam bunga, dan kemudian berdoa. Setelah kembali dari kuburan, mereka akan memotong babi dan makan bersama sebagai upaya mengenang yang sudah meninggal inilah yang disebut fangasi. Di sini tidak terlihat lagi tangisan dan kesedihan, upacara ini adalah tindakan memestakan orang yang sudah meninggal. Upacara ini juga disebut sebagai penghormatan karena melalui upacara ini dia diakui eksistensinya bahwa ia pernah hidup dengan mereka, dan sekarang almarhum telah pergi (mofanő/ irői gulidanő) dari dunia fana ini. Dalam pesta ini, semua kerabat dan warga sekampung diundang.

Orang Nias percaya bahwa yang meninggal itu akan menyadari bahwa ia telah meninggal setelah empat hari. Jadi saat seseorang meninggal sampai empat hari, ia masih belum bangun, meskipun diyakini bahwa rohnya masih berada di sekitar rumah.[21] Saat pertama sekali meninggal, almarhum masih hidup di alam mimpi saja. Tetapi setelah empat hari, almarhum akan bangun dan di situlah ia menyadari kalau ia sudah meninggal. Maka di sana akan terdapat ratapan dan tangisan.

Pertama sekali yang dia lakukan adalah kembali ke rumah. Pada saat jam enam sore/atau menjelang magrip, di mana suasana sudah mulai gelap, arwahnya akan masuk ke rumah lewat pintu dapur dan langsung menuju kamarnya, kemudian mengambil barang-barang miliknya, meskipun yang[22] dia ambil hanyalah bayangan saja (lumő-lumő). Kepercayaan ini, benar-benar bisa dibuktikan. Biasanya di pintu belakang rumah akan ditaburkan abu dan besok pagi akan terlihat bekas kaki almarhum di situ. Bukti itu adalah tanda bahwa almarhum sudah mengunjungi rumah.

Di pulau Nias yang sangat hirarkis bangsawan tinggal di bagian atas tengah desa. Bangsawan ini dibedakan dari masyarakat umum termasuk yg memegang budak. Budak-budak itu ditangkap dari kelompok tetangga orang-orang yang tidak bisa membayar utang mereka . Bagian dari budak diekspor ke daratan di Sumatra, yang bangsawan bahkan lebih kaya. Kekayaan itu harus dibuat terlihat dalam rumah mereka (P. Orchard, 2001). Meja batu di sebuah desa di Nias, di mana keadilan mengacu pada rumah-rumah dengan meja-meja batu untuk Pengadilan, Nias, Sumatera Utara, sekitar 1915.


Namun, biasanya pada hari keempat juga ada ritual bagi orang yang telah meninggal. Acara ini sangat khusus, hanya dihadiri keluarga dekat saja, bahkan hanya keluarga sendiri. Mereka (arwah) dipanggil ke rumah untuk jamuan makan terakhir. Tapi ritual ini hanya dilakukan sebagian orang Nias saja, seperti dikatakan oleh Pastor Ote OSC:

Satu ritus khusus setelah kematian di Nias adalah doa setelah 4 hari kematian. Saya lupa istilahnya. Intinya, arwah orang meninggal diundang dan diberi makan untuk terakhir kalinya. Ada kepercayaan bahwa selama 4 hari setelah meninggal arwah masih ada di dalam atau di sekitar rumah. Ritus yang saya tahu adalah pada saat petang, ogõmi-gõmi mai’fu seseorang pergi ke kubur lalu memukul permukaan makam, seolah-olah mengetok pintu untuk mengundang arwah si mati untuk datang ke rumah dan ikut acara. Nah, mulai saat itu, tidak boleh ada orang yang ada di tengah jalan, apalagi berada di pintu karena bisa kesambet (tesafo). Dia (arwah) akan dijamu secara khusus dengan menyembelih babi dan sedapat mungkin sudah membereskan fangasi.

Setelah empat hari, diyakini bahwa arwah itu sudah siap meninggalkan segala sesuatu yang ada dunia ini dan pulang kepada Tuhan (Lowalangi). Dalam acara hari keempat ini, diadakan perpisahan dengan almarhum. Dunia almarhum telah berbeda, yaitu di alam baka sana. Maka dimohon agar almarhum tidak lagi mengingat apa yang tertinggal di belakang sebab itu bukan miliknya lagi. Itu adalah milik orang yang masih hidup. Diharapkan juga supaya orang yang sudah meninggal itu, bisa tenang di alam sana. Tidak lagi terikat dengan apa yang ada di dunia ini. Termasuk tidak bisa menyayangi dan mencintai yang ada di dunia. Karena menyayangi itu sama dengan menarik orang yang masih hidup ke alam kematian.

Orang Nias percaya bahwa ”cinta” orang yang sudah meninggal itu tidak dibutuhkan lagi, sebab kasih sayang mereka itu menimbulkan maut bagi yang masih hidup.[23] Orang yang sudah meninggal menyayangi dengan mengambil apa yang mereka sayangi. Artinya membuat yang dia sayangi itu meninggal. Hal ini juga dibenarkan oleh Pastor Ote.

Dalam upacara itu, orangtua dalam keluarga itu akan mengadakan/mengucapkan berbagai batasan dan aturan. Misalnya, “Saudara (yang sudah mati) duniamu dan dunia kami sekarang berbeda. Tenang dan bahagialah di tempatmu yang baru dan jangan terlibat lagi dalam segala urusan keluarga yang masih hidup. Kami sanggup mengatasi segala keperluan keluarga. Kalau kamu dulu senang sama anak-anak dan suka menggendong dan memeluk mereka, maka sekarang karena dunia kita berbeda, jangan lagi lakukan hal demikian karena Lowalangi akan menghukum engkau. Engkau tidak punya hak lagi. Tugasmu adalah mendoakan anak-anak itu supaya mereka terpelihara dan baik. Jangan kembali lagi ke rumah ini karena sudah ada rumahmu yang baru(dan beberapa ungkapan lain).” Setelah 4 hari, diyakini bahwa arwah sudah tidak berada di rumah lagi. Setahu saya tidak ada lagi upacara untuk si mati, kecuali kalau fangasi tadi belum dibereskan.
Acara pada hari keempat ini adalah acara terakhir bagi orang yang sudah meninggal. Tidak ada lagi acara-acara resmi lainnya untuk mengenang dan mendoakan arwah tersebut.

Penutup

Dunia setelah kematian bagi orang Nias terbagi dalam dua perspektif. Pendapat pertama berpendapat bahwa setelah meninggal seseorang akan menjadi abu, makanan cacing, dan tidak ada lagi harapan untuk kehidpan selanjutnya. Kedua, setelah meninggal seeorang tetap melanjutkan hidup di dunia lain yaitu Tetehõli ana’a. Maka dibuatlah adu untuk dapat mengenang mereka, dan diyakini mereka akan masuk ke dalam patung-patung itu.

Untuk mencari sintesis di antara dua padangan yang berbeda ini, perlu kita mengetahui apa itu manusia dan terdiri dari apakah manusia itu dalam perspektif Nias. Manusia terdiri dari boto (tubuh), noso (nafas/nyawa) dan Lumõ-lumõ (roh/bayang-bayang). Pada saat meninggal noso akan kembali kepada pencipta, sementara boto akan kembali ke tanah dan jadi debu. Lumõ-lumõ akan kembali ke dunia roh (Tetehõli ana’a). Di sini semakin jelas bahwa, boto sajalah yang akan musnah dan menjadi makanan cacing, sementara lumõ-lumõ akan melanjutkan hidup di alam baka. Maka ada jurang pemisah antara dunia arwah dengan dunia manusia.

Mereka yang telah meninggal tidak bisa menyeberang jurang tersebut. Di sanalah arwah yang sudah meninggal tinggal sampai selamanya. Hubungan dengan mereka tidak ada lagi. Yang tinggal hanya Tõi nama, dan Lakõmi (kemuliaan). Yang dapat dikenang dan menjadi kebanggaan bagi generasinya, bila nama yang dia tinggalkan harum dan besar. Demikian juga berlaku sebaliknya.


Daftar Pustaka
Harmmerte, Pastor Johannes M. OFMCap. 1999. Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Intepretasi. Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias
Koentjaraningrat, Prof. Dr. 1976. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
http:// www. Tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2006/11/25/brk,20061125- 88428 Sabtu 25 November 2006
htt://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/04/humaniora/3002327.htm
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia Indonesia
[1] Ada banyak kelompok masyarakat yang hidup di Nias, dan tidak semua disebut orang Nias karena tidak semua keturunan leluhur Nias asli. Mereka bisa digolongkan sebagai pendatang yang telah lama hidup di Nias sampai beberapa generasi. Contoh, orang-orang cina, aceh, mentawai dsb.
[2] Hoho adalah syair yang ditembangkan. Syair ini masih dinyanyikan dalam pesta-pesta adat, juga oleh mereka yang sudah beragama Nasrai, bdk: Prof. Dr. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1976), hlm. 51
[3] Lowalangi adalah nama yang terlanjur dipopulerkan sebagai dewa pencipta/Allah oleh misionaris Kristen Denniger padahal dewa tertinggi dalam mitologi Nias adalah Sihai.
[4] Sumber ini masih bisa diragunkan karena Sihai adalah nama dewa maha pencipta manamungkin dijadikan tongkat lowalangi. Ibid.,
[5] Ibid.,
[6] Lowalangi ini sebenarnya anak dari raja Sirao yang bungsu, dialah yang berhasil memenangi sayembara perebutan tahta ayah mereka.
[7] Nama lainnya adalah Latura danõ
[8] Makluk yang menghuni air, khususnya yang dalam dan angker, bisa membunuh orang
[9] Bela ini, seperti manusia, hanya saja seluruh tubuhnya putih seperti kapas, baik itu rambut dan sebagainya. Bela ini sebagai penguasa hutan dan pemilik seluruh binatang di hutan. Bila berburu harus berdoa dan minta kepada Bela yang empunya.
[10] Tempointeraktif, (http:// www. Tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2006/11/25/brk,20061125-88428 Sabtu 25 November 2006
[11] htt://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/04/humaniora/3002327.htm
[12] Sumber dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia Indonesia
[13] Bandingkan: Pastor Johannes Maria Harmmerte, OFMCap, Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Intepretasi, (Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias, 1999), hlm. 201
[14] Ibid.,
[15] Koentjaraningrat Op. Cit., hlm. 50
[16] Koentjaraningrat, Op.Cit., hlm. 50
[17] Ibid., hlm. 51
[18] Ibid., hlm. 47
[19] Sumber dari Pastor Ote OSC
[20] Koentjaraningrat, Op.Cit., hlm. 48
[21] Sebab dalam mitologinya, orang Nias percaya bahwa roh orang meninggal, masih berada di sekitar rumah sebelum dia didoakan atau diupacarakan.
[22] Pernyataan ini hanyalah sekedar keyakinan yang tidak bisa dipertanggungjwabkan kebenarannya.
[23] Bahkan bayang-bayang orang yang telah meninggal tidak bisa mengenai orang yang masih hidup karena bisa sakit. Maka pemutusan hubungan secara total bagi arwah itu adalah mutlak hukumnya.

Making the family as a cultural force prosperous and harmonious

sumber: http://gabriellaia.blogspot.com/2009/06/budaya-nias-asal-usul-dan-kematian.html

sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/

Asal Usul Leluhur Ono Niha - Nias





A. Asal-Usul

Nias adalah gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau, membujur di lepas pantai barat Sumatra menghadap Samudra Hindia. Tidak semua pulau-pulau tersebut berpenghuni. Hanya ada sekitar lima pulau besar yang dihuni oleh manusia, yaitu Pulau Nias (9.550 km²), Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau Tello (18 km²), dan Pulau Pini (24,36 km²). Di antara kelima pulau tersebut, Pulau Niaslah yang berpenghuni paling padat, dan menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan (Koestoro, Wiradnyana, 2007). Pulau yang terkenal dengan budaya megalitiknya ini menyimpan beberapa misteri dan keunikan. Termasuk mengenai asal-usul leluhur orang Nias saat ini. Para penghuni pulau ini menyebut dirinya sebagai ono niha (orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu puak-puak tertua di Nusantara.

Ada beberapa versi mengenai siapa sebenarnya leluhur orang Nias saat ini, baik yang bersumber dari hoho (cerita lisan yang berkembang di masyarakat Nias dan diwariskan secara turun-temurun sehingga menyerupai mitos), maupun data-data ilmiah temuan para arkeolog. Hoho yang berkembang di Nias menyebutkan bahwa manusia pertama yang tinggal di Nias adalah sowanua atau ono mbela.

Ono mbela merupakan keturunan penguasa kayangan, Ibu Sirici, yang memerintahkan keenam anaknya untuk turun ke bumi menggunakan liana lagara, sejenis tumbuhan yang biasanya merambat di pohon. Karena liana lagara yang digunakan telah rapuh, sebagian di antara mereka ada yang jatuh ke bumi dan sebagian yang lain memilih tinggal di atas pohon. Anak turun Ibu Sirici yang memilih tinggal di atas pohon inilah yang kemudian disebut sebagai sowanua atau ono mbela (manusia pohon). Ono mbela dikenal memiliki kulit yang putih dan berparas cantik ((Hammerle, 2007). Ciri-ciri fisik tersebut mengundang para peneliti untuk membuat sebuah interpretasi bahwa ono mbela berjenis kelamin perempuan.

Lantas ke mana perginya anak turun Ibu Sirici yang jatuh ke tanah? Menurut sebuah versi hoho yang lain, mereka kemudian menyelamatkan diri dengan mencari perlindungan di gua-gua.

Mereka tidak lagi disebut sebagai ono mbela tetapi nadaoya atau manusia yang menghuhi gua. Secara fisik keduanya berbeda. Jika ono mbela dikenal memiliki kulit putih dan berparas cantik, maka nadaoya dikenal memiliki kepala dan tubuh yang lebih besar dengan kulit berwarna gelap. Besar kemungkinan keduanya sudah tergolong bangsa manusia, namun berasal dari ras yang berbeda, bukan satu keturunan. Lantaran keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penduduk Nias waktu itu, juga tata cara hidup yang berbeda, asal-usul keduanya kemudian cenderung dimitoskan karena dianggap memiliki nenek moyang yang berbeda dengan manusia pendatang. Apa yang dijelaskan hoho ini didukung oleh bukti-bukti ilmiah.


Berdasarkan hasil penelitian Badan Arkeologi Medan, di Nias ditemukan jejak-jejak manusia prasejarah yang meninggalkan artefak-artefak di gua-gua, salah satunya yang terkenal adalah di Gua Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa Lőlőwanu Niko‘otanő, Kecamatan Gunung Sitoli. Jejak kehidupan tersebut dapat ditemukan melalui alat-alat tulang dan batu berupa serpih, batu pukul, dan pipisan (Wiradnyana, 2006). Selain itu, juga ditemukan sisa-sisa vertebrata yang terdiri dari ikan (pisces), ular (ophodia), kura-kura (rodentia), kelelawar (chiroptera), hewan berkuku genap (artiodactyla), dan cangkang moluska dari kelas gastropoda dan pelecypoda (Wiradnyana, 2008).

Di Nias juga berkembang hoho yang lain, tepatnya di Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Hoho ini terkait dengan nama Gomo untuk kecamatan yang dimaksud. Kata gomo, memiliki makna owo–gomo–omo, yang berarti perahu –gomo– rumah (Hammerle, 2001). Dahulu kala, terdapat rombongan manusia perahu berasal dari daratan Asia yang terombang-ambing di tengah samudra yang kemudian terdampar di Nias. Meskipun Hammerle mengakui pendapatnya ini tidak memiliki cukup bukti ilmiah, namun tafsir yang dikemukakannya cukup masuk akal. Ia menghubungkan perahu dengan sejarah asal-usul suku Nias yang datang dari seberang lautan. Mereka terdampar di pantai sekitar muara sungai, lalu membangun rumah (omo) di pinggir sungai yang sekarang dikenal dengan Sungai Gomo. Jadi, kata gomo ada hubungannya dengan owo (perahu) dan omo (rumah) (Sonjaya, 2008).

Meskipun hoho yang berkembang di Nias tidak hanya seperti yang disebut di atas (karena hampir setiap marga memiliki hoho-nya masing-masing), namun ketiga hoho inilah yang sampai saat ini paling diyakini sebagian besar orang Nias. Dilihat dari rasnya, orang Nias termasuk dalam rumpun Austronesia. Bahasa sehari-hari yang digunakannya, yaitu bahasa Nias, juga semakin memperkuat pendapat tersebut. Secara genealogis, bahasa Nias tergolong rumpun bahasa Austronesia. Ciri dialek bahasa Nias adalah nada yang meninggi di akhir kata dan kalimat. Menurut Reuter (2005), bahasa Austronesia dituturkan secara luas, dari Madagaskar di ujung barat —melintasi Asia Tenggara Daratan maupun Kepulauan hingga ke arah timur melintasi kawasan Pasifik yang berujung di Selandia Baru dan Hawaii. Secara umum, kebudayaan yang berkembang di Nias juga memiliki kesamaan dengan kawasan-kawasan Austronesia lainnya, yaitu berciri megalitik, memuja roh leluhur, dan bercocok tanam.

Dilihat dari topografinya, Nias adalah dataran rendah yang di tengahnya terdapat bukit-bukit. Mayoritas penduduknya masih tinggal di pedalaman, di kampung-kampung yang saling mengisolasi, dan berprofesi sebagai petani.

Meskipun metode bertani masyarakat Nias masih bersifat sederhana, tetapi mereka tetap mampu menghasilkan beberapa komoditas unggulan, seperti kelapa, karet, cokelat, dan nilam. Akhir-kahir ini –setelah dikelola lebih serius— sektor pariwisata juga merupakan tulang punggung perekonomian penduduk Nias. Di bidang pariwisata, potensi wisata Nias terletak dijalur yang disebut Segitiga Emas Industri Pariwisata Nias Selatan, yaitu Kecamatan Lolowa‘u –Gomo— Pulau-pulau Batu. Porosnya terletak di omo hada, rumah tradisional di Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam (Julianery, Kompas 06/04/2006).

Pulau Nias
B. Konsepsi Leluhur Orang Nias

Untuk mengetahui lebih jelas dari mana asal-usul atau leluhur orang Nias saat ini, perlu disebutkan terlebih dahulu sejarah lisan yang berkembang di Nias mengenai pembagian kelompok etnis yang ada di pulau ini. Masyarakat Nias meyakini terdapat tiga kelompok etnis berbeda yang pernah —bahkan sampai saat ini keturunannya dianggap masih tinggal di Nias, yaitu: (1) Niha sebua gazuzu, yaitu manusia yang memiliki kepala besar dan merupakan ciri manusia purba yang hidup ribuan tahun lalu dan tinggal di gua-gua, sehingga mereka juga disebut manusia dari bawah tanah (soroi tou). Dalam hoho di atas mereka disebut nadaoya; (2) Niha safusi,yaitu kelompok manusia berkulit putih dan cantik yang tinggal di atas pohon. Dalam hoho di atas mereka disebut sebagai ono mbela; (3) Lani ewöna, yaitu bangsa manusia yang sudah dikategorikan sebagai homo sapiens yang bermigrasi dari seberang lautan dengan keahlian dan pengetahuan yang lebih tinggi dari kedua pendahulunya, sehingga mereka berpengaruh besar dan membawa transformasi sosial di Nias. Kelompok etnis inilah yang selanjutnya memproklamirkan diri sebagai ono niha (orang Nias) (Hammerle, 2001).

Namun, seiring berjalannya waktu, dan seolah-olah mengamini ramalan Teori Evolusi, hanya kelompok etnis lani ewöna lah yang sanggup bertahan hidup di Pulau Nias. Mereka memiliki teknologi yang lebih maju, sehingga sanggup bertahan hidup tidak hanya dari mengandalkan sumber pangan yang tersedia di alam tetapi memiliki ketrampilan untuk mengolah tanah dan bercocok tanam. Kemampuan inilah yang diduga banyak arkeolog telah membuat manusia ini sanggup bertahan hidup dalam waktu yang lama. Berbeda dengan kedua pendahulunya yang sangat tergantung dengan alam. Ketika sumber pangan yang tersedia di alam semakin menipis, mereka akhirnya terdesak dan kemudian punah.

Sebelum dapat dipastikan bahwa hanya lani ewönalah yang merupakan leluhur manusia Nias saat ini, perlu kiranya dijelaskan terlebih dahulu tentang kedua pendahulunya secara lebih lengkap karena hal ini dapat membantu mencari tahu siapa sebenarnya mereka dan mengapa mereka menjadi punah.
1. Ono mbela atau Niha Safusi

Sebagaimana disebut di atas, ono mbela adalah mahluk yang hidup di atas pohon. Di kalangan orang Nias, terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai mahluk ini. Sebagian penduduk Nias meyakini bahwa ono mbela adalah benar-benar manusia yang pernah hidup di Nias. Sedangkan sebagian yang lainnya menganggap ono mbela bukan manusia, melainkan mahluk gaib yang menguasai segala macam binatang di hutan. Namun, mengenai ciri fisik yang dimiliki ono mbela, masyarakat Nias tidak berselisih pendapat. Ono Mbela memiliki rambut putih, kulit putih, berparas cantik, dan mata biru seperti orang Eropa.

Ono mbela sudah menghuni Nias jauh sebelum ono niha datang ke pulau ini. Ono mbela kemudian kalah bersaing dengan kelompok pendatang dan seringkali “dibodohi” karena dianggap lebih rendah dan bukan berasal dari golongan manusia. Dengan nada sombong, para pendatang ini kemudian menegaskan dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang berhak menghuni pulau Nias. Akibat dominasi dari pendatang yang memiliki teknologi dan kebudayaan yang lebih maju, ono mbela mulai terdesak, dan akhirnya mengundurkan diri hingga tidak dapat dijumpai lagi (Hammerle, 2001).

Sayang, usaha untuk membuktikan bahwa ono mbela adalah manusia selalu terbentur dengan data. Sejauh ini, belum ditemukan –bahkan tidak akan pernah –artefak-artefak yang menjelaskan bahwa mahluk ini pernah hidup di Nias. Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi, karena jejak-jejak di tempat terbuka memang lebih mudah terhapus atau hilang karena proses alam atau aktivitas manusia, seperti pembakaran hutan dan perladangan yang intensif.

Untuk menjelaskan keberadaan ono mbela di Nias, ada dua hipotesis yang dapat diajukan. Hipotesis pertama menyebutkan bahwa ono mbela adalah ras Australomelanesid, manusia pertama yang menghuni wilayah Asia Tenggara. Seiring berjalannya waktu, keberadaan mereka kemudian menjadi mitos bagi masyarakat Nias dari generasi baru sesudahnya. Hipotesis yang kedua menyebutkan bahwa ono mbela merupakan ras Mongoloid yang datang lebih awal ke Nias yang sebenarnya sudah membawa kebudayaan neolitik, namun tidak berkembang di Nias karena kondisi lingkungan menuntut para pendatang ini mengembangkan tradisi perburuan (Sonjaya, 2008).

2. Nadaoya atau Niha Sebua Gazuzu

Nadaoya dianggap sebagai salah satu makhluk yang mungkin telah hidup sezaman dengan ono mbela. Hal ini dibenarkan oleh salah satu hoho yang berkembang di Nias, bahwa antara ono mbela dan nadaoya berasal dari satu keturunan, yaitu Ibu Sirici. Dilihat dari ciri fisiknya, nadaoya berkulit gelap dan memiliki kepala yang besar. Mereka diduga adalah manusia purba dari ras Austromelanesid yang hidup di lembah-lembah yang dalam dan gelap serta di tebing sungai yang tinggi dan terjal. Habitat yang dimaksud menjurus pada gua-gua, sebagaimana umumnya manusia purba lainnya.

Dalam kepercayaan dan tradisi lisan Nias yang berkembang di Nias, nadaoya digambarkan sebagai makhluk jahat atau setan raksasa (bekhu sebua). Suaranya besar sekali, aksentuasi bunyinya tidak jelas, dan terdengar patah-patah. Bagi orang Nias, bertemu dengan nadaoya adalah sebuah malapetaka. Sebab, kalau mereka lewat dan bertemu dengan manusia, mereka akan langsung memangsa manusia tersebut. Sampai saat ini, cerita tentang kejahatan nadaoya masih berkembang. Jangankan bertemu, menyebut nama nadaoya saja adalah hal yang menakutkan bagi masyarakat Nias. Apalagi kalau penyebutan itu dimaksudkan untuk mengutuk orang lain: ya mu‘a ö nadaoya ya mana ndraugö nadaoya (semoga nadaoya mamangsa engkau). Ungkapan ini adalah sesuatu yang keras dan ditakuti orang Nias.

Kalau dikaji tentang asal-usul masyarakat Nias, lalu dihubungkan dengan bukti-bukti material yang terdapat di dalam gua-gua (seperti artefak-artefak yang ditemukan di Gua Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa Lőlőwanu Niko‘otanő, Kecamatan Gunung Sitoli) dan tradisi lisan sebagaimana diceritakan di atas, maka nadaoya merupakan kelompok manusia purba yang pernah tinggal di Nias dan menganut hukum rimba. Mereka sudah hadir di pulau Nias sebelum kedatangan etnis lain. Dengan demikian, mereka bukanlah setan raksasa. Mereka semakin ganas karena terpojok dan tidak memiliki tempat lagi untuk berkembang, karena alam telah dirusak oleh manusia yang memiliki pengetahuan (Nata‘alui Duha, 2008).



Gua Tőgi Ndrawa

Jika kita merujuk pada data arkeologis yang dipublikasikan Badan Arkeologi Medan, nadaoya benar-benar pernah hidup di Nias. Mereka tinggal di gua-gua sejak 12.000 tahun yang lalu, bahkan berlanjut hingga tahun 1150-an. Mereka memanfaatkan biota laut dan mangrove. Budaya yang mereka miliki disebut budaya Hoabinh, sebuah praktek kehidupan yang memanfaatkan batu-batuan sebagai alat bantu yang disebut Sumatralith, mirip dengan teknologi yang digunakan manusia purba di wilayah Hoabinh, Vietnam (Wiradnyana, 2006).

Dilihat dari rentang masa hidupnya, kemungkinan besar nadaoya pernah hidup dalam waktu yang bersamaan dengan kelompok pendatang. Hanya saja, karena manusia gua belum mengenal teknologi bercocok tanam, akhirnya mereka kalah bersaing dengan manusia pendatang. Akibatnya, kelompok mereka lambat-laun lenyap, dalam arti punah, atau sebagian membaur dengan kelompok pendatang dalam jalinan pernikahan atau hubungan ekonomi (tuan-budak) (Sonjaya, 2008).

Terkait dengan kondisi di atas, Sonjaya (2008) dengan sangat baik membuat analogi mengenai interaksi antara manusia gua dengan kelompok pendatang. Interaksi antara manusia gua dengan kaum pendatang mirip interaksi antara masyarakat Baduy dengan masyarakat Jakarta. Jakarta sudah berbudaya metropolis, sedangkan Baduy berbudaya ladang yang masih menggunakan beliung batu untuk bercocok tanam. Dalam waktu yang sama dan wilayah yang sama (Jawa bagian Barat) berkembang dua kebudayaan yang secara teknologis sangat berbeda ibarat bumi dan langit. Perlahan-lahan Baduy sedang berubah karena gencarnya pengaruh globalisasi dari Jakarta. Suku yang menurut Yuanzhi (2005), sebagai salah satu suku tertua di Nusantara, dan sudah bertahan ratusan bahkan ribuan tahun ini barangkali tidak lama lagi akan punah karena meluruhnya sekat-sekat budaya, sosial, dan ekonomi di antara keduanya. Kehidupan manusia gua dengan kelompok pendatang di Nias pada abad-abad yang lalu dapat dibayangkan seperti kehidupan antara orang Baduy dengan orang Jakarta.

3. Lani Ewöna atau Ono Niha

Menurut Teori Persebaran Kebudayaan, leluhur orang Nias atau ono niha saat ini berasal dari daratan Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunan. Hal ini dapat dilihat dari bukti-bukti linguistik dan arkeologi. Leluhur ono niha adalah penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi dari Yunan secara bergelombang sekitar 3500 tahun sebelum Masehi hingga awal-awal Masehi (Sonjaya, 2008).

Konon, ketrampilan orang Nias dalam membuat patung kayu, menhir, benda-benda megalitik lainnya, serta teknik bertani dan beternak, diwarisi dari orang-orang Yunan yang datang ke pulau ini. Hipotesis ini bertambah kuat jika melihat peralatan dan gaya arsitektur di Nias. Pengaruh itu berupa motif kepala naga (hewan yang melegenda di Cina) yang terdapat pada pegangan atau gagang pedang, bagian depan rumah bangsawan, peti mayat, dan sejumlah megalit di daerah Lahusa dan Gomo (Hammerle, 2007).

Kelompok pendatang ini juga tidak lagi tergantung dengan alam, karena sudah mengenal tata cara bercocok tanam dan food producing. Mereka sudah tinggal menetap. Banyaknya waktu luang juga telah mendorong mereka memikirkan dan membayangkan hal-hal yang abstrak, seperti keindahan. Ekspresi keindahan tersebut dapat dilihat pada manik-manik yang terdapat di pakaian orang Nias dan gelang yang dipakai di lengan dan kaki. Dilihat dari periodenya, masa ini disebut sebagai zaman neolitikum yang ditandai dengan kemampun food producing dan benda-benda kebudayaan, seperti tembikar, kapak batu, patung, dan lain-lain. Atas keunggulannya itu, para pendatang dari Yunan yang berkebudayaan neolitik kemudian memproklamirkan diri sebagai kelompok pertama yang telah meletakkan dasar-dasar kebudayaan sebagaimana diekspersikan manusia Nias saat ini. Mereka juga menyebut dirinya sebagai anak manusia yang berbeda dengan kelompok manusia yang tinggal di pohon dan di gua, seperti ono mbela dan nadaoya (Sonjaya, 2008).

Orang-orang Yunan tersebut diperkirakan tiba di Nias melalui Pelabuhan Singkuang, Tapanuli Selatan. Apabila dilihat di peta, Kota Singkuang terletak persis di sebelah utara pantai barat Sumatra. Mereka kemudian bergerak ke arah barat dan sampai di wilayah Lahusa dan Gomo, yang sekarang ini menjadi pusat pemerintahan tingkat kecamatan. Jarak yang ditempuh sekitar 110 kilometer, lebih dekat dibandingkan perjalanan dari Sibolga menuju Gunung Sitoli. Sampai sekitar 500 tahun yang lalu, pusat perkembangan kebudayaan Nias masih terletak di tepi Sungai Susua dan Gomo (Hammerle, 2007). Jika dihubungkan dengan salah satu hoho yang berkembang di Nias, khususnya di Kecamatan Gomo, hipotesis ini bertambah kuat. Kata gomo, memiliki makna owo–gomo–omo, yang berarti perahu –gomo– rumah. Owo merujuk pada alat transportasi yang digunakan oleh orang-orang Yunan waktu itu, yaitu perahu. Gomo merujuk pada wilayah yang dihuni, yaitu di daerah Gomo. Sedangkan omo merujuk pada rumah yang dibangun di sekitar pinggiran Sungai Gomo (Sonjaya, 2008).

Kedatangan orang-orang Yunan dengan kemampuan teknologi yang lebih maju inilah yang disinyalir telah mendesak keberadaan ono mbela dan nadaoya. Karena kalah bersaing dalam memperebutkan sumber daya alam, mereka lama-kelamaan menjadi punah (Nata‘alui Duha, 2008). Secara lebih sistematis, penyebab kepunahan ono mbela dan nadaoya kira-kira dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Pertama, berlakunya hukum rimba. Manusia purba menganut hukum rimba, siapa yang kuat, maka dialah yang menang dan dapat bertahan hidup. Ketika orang Yunan datang ke Nias, dengan berbagai keunggulan pengetahuan dan teknologinya, secara logika mereka lebih kuat dibanding dengan ono mbela dan nadaoya. Sebab, mereka tidak hanya mengandalkan otot dalam menguasai alam untuk mempertahankan hidup, tetapi juga otak. Ono mbela dan nadaoya yang terdesak kemudian mengasingkan diri. Karena hanya mengandalkan ketersediaan pangan dari alam, mereka akhirnya punah karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial yang terus berubah dan sumber pangan yang semakin menipis. Mungkin juga telah terjadi peperangan di antara mereka yang disebabkan oleh perbedaan etnis. Kaum pendatang yang menguasai teknologi lebih maju, akhirnya memenangkan peperangan tersebut.

Kedua, sumber daya alam yang menipis. Lantaran manusia purba seperti kelompok ono mbela dan nadaoya sangat bergantung pada alam, maka ketika alam rusak dan hutan habis dibabat secara liar, habitat mereka semakin terjepit. Tidak ada tempat dan sumber makanan untuk dapat bertahan hidup. Maka mereka tidak berkembang dan akhirnya punah.

Ketiga, pembauran melalui perkimpoian. Persinggungan antara kelompok pendatang dengan kelompok-kelompok asli tidak hanya berujung pada persaingan dan peperangan saja, tetapi juga sangat mungkin telah terjadi perkimpoian di antara mereka. Terlebih lagi –seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok ono mbela itu cantik-cantik, sehingga sudah barang tentu, suka atau tidak suka, mereka potensial dikimpoii oleh kaum pendatang yang lebih pintar. Mereka bagaikan gadis desa yang lugu tetapi cantik yang selalu menjadi incaran para pria dari kota sebagaimana terjadi pada zaman sekarang. Keturunan mereka tidak lagi disebut sebagai kelompok ono mbela atau nadaoya, tetapi mengikuti garis keturunan kelompok yang lebih dominan dan berkuasa. Mengenai hal ini, Hammerle (2001) mengusulkan kepada para peneliti untuk meneliti DNA manusia Nias saat ini untuk menguji apakah telah terjadi pembauran secara genetik antara kelompok pendatang dengan kelompok asli.



Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat tentang siapa sebenarnya leluhur orang Nias atau ono niha saat ini adalah lani ewöna, imigran yang berasal dari Yunan, Cina bagian selatan. Meskipun kesimpulan ini juga tidak menampik fakta (jika telah dibuktikan secara ilmiah) bahwa telah terjadi perkimpoian antara lani ewöna dengan ono mbela dan nadaoya. Namun, jika dilihat ciri-ciri fisik orang Nias saat ini, yaitu berkulit putih, bermata agak sipit, bertubuh gempal dan pendek, pendapat yang mengatakan bahwa leluhur orang Nias berasal dari Yunan sangat beralasan, karena pada umumnya orang-orang Cina juga memiliki ciri-ciri fisik yang sama.

Setelah beratus-ratus, bisa juga beribu-ribu tahun, nyaris tidak ada kelompok etnis lain yang menjadi pesaing lani ewöna di Nias, mereka menjadi satu-satunya kelompok yang berkuasa, sehingga mereka lebih leluasa untuk mengembangkan tempat pemukiman. Orang-orang Nias mulai beranjak dari tempat tinggal para leluhurnya di sepanjang Sungai Gomo, terutama di daerah Börönadu (sekarang sebuah desa yang berada di Kecamatan Gomo).

Hal ini dapat dilihat dari sejarah lisan yang berkembang di Börönadu. Menurut Ama Watilina Hia, tokoh adat di Börönadu, nenek moyang orang-orang di Gunung Sitoli dan Teluk Dalam berasal dari Börönadu. Orang-orang Gunung Sitoli adalah keturunan orang Börönadu yang bernama Lase, sedangkan nenek moyang orang Teluk Dalam adalah orang Börönadu yang bernama Sadawamölö (Sonjaya, 2008).

Sejarah lisan ini diperkuat oleh pendapat M.G. Thomsen dalam bukunya yang berjudul Famareso Nhawalö Huku Föna Awö Gowe Nifasindro (Megalithkultur) Ba Dano Nias (1976) yang menyebutkan bahwa perpindahan marga-marga besar dari Börönadu ke tempat-tempat lain berlangsung antara 26 sampai 40 generasi yang lalu (Sonjaya, 2008). Satu generasi sama dengan 25 tahun. Sayangnya, pendapat Thomsen tersebut tidak diikuti dengan penjelasan ke mana persebaran orang-orang Börönadu tersebut. Lebih jelasnya sebagai berikut:

“Telambanua bersama klannya pindah dari Börönadu kira-kira 40 generasi yang lalu. La‘ia bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Ndururu bersama klannya pindah dari Börönadu 36 generasi yang lalu. Zebua bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Dan Hulu bersama klannya pindah dari Börönadu 26 generasi yang lalu.”

Sejak proses persebaran tersebut, marga-marga besar di Nias mulai terbentuk, yang berujung pada munculnya bibit-bibit persaingan dan permusuhan antarsesama orang Nias. Bagi orang Börönadu, orang-orang yang meninggalkan Börönadu dianggap sebagai orang yang tidak menghormati adat dan leluhur, meskipun proses perpindahan tersebut mungkin lebih disebabkan oleh faktor-faktor pragmatis, seperti mencari sumber kehidupan yang lebih layak menuju daerah yang lebih makmur, karena secara geografis Börönadu memang terpencil.

Setelah peristiwa tersebut, persaingan antarmarga semakin kuat dan atmosfirnya masih terasa hingga sekarang. Suasana interaksi antarmarga dan antarkampung diwarnai egosentrisme, yaitu melihat marga atau kampung yang lain selalu dari perspektif marga dan kampung sendiri. Setiap marga berusaha menampilkan dirinya sebagai marga dengan identitas yang paling unggul. Fenomena ini sejalan dengan Teori Identitas Sosial, yang berasumsi bahwa pada dasarnya setiap individu yang tergabung dalam kelompok sosial tertentu cenderung akan membangga-banggakan kelompoknya sendiri, dan menganggap kelompok yang lain lebih buruk atau rendah (Deschamps, 1982).

Titik puncak dari suasana persaingan dan permusuhan tersebut adalah berlakunya tradisi owasa (pesta 3 hari tiga malam dengan mengorbankan puluhan, bahkan ratusan babi) dan tradisi mangani binu (memburu kepala manusia), yang diperkenalkan pertama kali oleh tokoh bernama Awuwukha, manusia digdaya yang hidup di Nias pertengahan abad ke-19. Tradisi tersebut adalah simbol identitas dan kebanggaan orang Nias. Harga diri seseorang ditentukan oleh berapa jumlah kepala babi dan kepala manusia dari marga lain yang telah dipenggal. Mekipun tradisi ini mulai menyusut pengaruhnya semenjak para misionaris Barat mewartakan agama Kristiani di pulau ini pada akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M, suasana permusuhan yang terwarisi secara lintas generasi tersebut ternyata tidak hilang sepenuhnya, dan masih berdampak pada pembentukan kepribadian orang Nias saat ini. Wajar saja –jika orang Nias kemudian dianggap memiliki kecurigaan yang tinggi dan cenderung menutup diri ketika berhadapan dengan orang asing (Hammerle, 2001).

C. Implikasi Sosial

Di bagian ini akan dibahas implikasi-implikasi sosial sebagai bagian dari konsekuensi pemahaman orang Nias terhadap leluhur mereka. Orang Nias adalah kelompok etnis yang sampai saat ini masih cukup kuat memegang teguh tradisi, yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhurnya. Tradisi menjadi semacam sarana yang dapat menjadi jembatan komunikasi antara orang Nias saat ini dengan leluhurnya, dan juga dapat berfungsi sebagai media untuk mengukuhkan identitas sosial.

Terkait dengan tradisi penghormatan terhadap leluhurnya, orang Nias mempraktekkan ritual-ritual tertentu agar hubungan baik dengan leluhur tetap terbina. Orang Nias mewarisi sebuah tradisi yang kompleks dari leluhurnya. Mereka memraktekkan banyak ritual, karena hampir setiap peristiwa kehidupan dihayati dan dimaknai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Namun, bagian ini tidak bermaksud menjelaskan itu semua. Bagian ini hanya berusaha membabarkan ritual-ritual khusus yang secara langsung berkorelasi dengan penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur orang Nias.

Di atas telah dijelaskan tentang ono mbela, mahluk yang dianggap sebagai salah satu leluhur orang Nias, meskipun di Nias sendiri terjadi perbedaan pendapat apakah ono mbela merupakan generasi pertama penghuni Pulau Nias, atau sebangsa mahluk halus. Terlepas dari pendapat mana yang benar, yang pasti keberadaannya sampai saat ini masih berpengaruh cukup kuat terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Nias.

Ono mbela adalah mahluk yang tinggal di atas pohon, yang berkuasa atas kehidupan seluruh marga satwa di hutan. Sehingga, ketika orang Nias hendak berburu binatang di hutan, mereka harus menyelenggarakan ritual persembahan sebagai bentuk penghormatan (dalam bahasa jawa pamit) kepada ono mbela. Ritual persembahan tersebut dilaksanakan dengan cara mengorbankan anak babi atau ayam berbulu putih di bawah pohon besar di hutan yang dianggap sebagai rumah ono mbela. Setelah memberi persembahan tersebut, si pemburu kemudian pulang ke rumah dan wajib melakukan puasa selama empat hari. Selama berpuasa, ia tidak boleh berdusta dan tidak boleh berpergian ke mana-mana. Setelah puasa selesai ditunaikan, ia baru diperbolehkan pergi ke hutan untuk berburu (biasanya ditemani anjing) (Sonjaya, 2008).

Ritual tersebut seolah-olah menggugurkan pendapat yang mengatakan bahwa hubungan antara orang Nias dengan ono mbela selalu berada dalam situasi permusuhan. Bahkan di daerah Börönadu, ono mbela lebih populer dengan sebutan belada, yang artinya adalah sahabat atau kawan. Dengan demikian, fakta ini dapat dijadikan sebagai bukti bahwa punahnya ono mbela di wilayah Nias bukan karena direndahkan atau diperangi oleh orang Nias (ono niha), melainkan lebih karena faktor seleksi alam sebagaimana berlaku dalam Teori Evolusi, yaitu kalah bersaing dalam hal teknologi dan kebudayaan.

Dengan aksentuasi nilai yang berbeda, di Nias juga terdapat tradisi penghormatan terhadap leluhur yang disebut mangani binu atau tradisi memburu kepala. Kepala yang dimaksud bukanlah kepala hewan, melainkan kepala manusia. Bagi pihak yang kurang memahami budaya Nias secara lebih utuh, tradisi ini mungkin dianggap sebagai kebiadaban –praktek kebudayaan paling keji– yang pernah dibuat oleh anak manusia. Bahkan, seringkali terjadi kesalahpahaman yang berujung pada tuduhan bahwa orang Nias dulunya adalah termasuk suku kanibal, sebagaimana diungkapkan oleh Masashi (2005). Mengenai hal ini dia menulis: “In the tenth century, Ajä‘ib al-Hind described the people between Fansur (present day Barus) and Lambri and those in Kedah and the island of Nias as cannibals.”

Meskipun secara moral tradisi mangani binu tidak dibenarkan, namun dengan menelusuri konteks sosio-historis masyarakat Nias zaman dulu, diharapkan akan ditemukan titik terang mengapa tradisi ini bisa berlaku. Dalam sejarah lisan yang berkembang di Nias, tradisi mangani binu tidak dapat dipisahkan dari legenda Awuwukha, sosok manusia digdaya yang pernah hidup di Nias pertengahan abad ke-19 M. Mengenai kapan persisnya Awuwukha pernah hidup, telah terjadi silang pendapat. Menurut Sonjaya (2008), Awuwukha hidup sekitar 5 generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) yang lalu. Sedangkan menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar 7 generasi yang lalu. Untuk membuktikan pendapat siapa yang lebih benar, menurut Zebua perlu dilakukan pembuktian triangulasi, mencari sumber pembanding lainnya yang dianggap lebih valid.

Sejenak kita lupakan dulu silang pendapat di atas, karena mengetahui siapa sosok yang dimaksud sebagai Awuwukha jauh lebih penting. Mengenai tradisi mangani binu yang identik dengan sosok Awuwukha, Sonjaya menceritakan faktor pencetus tradisi tersebut sebagai berikut:

“…..kira-kira pertengahan abad ke-19, di Börönadu hidup seorang manusia pemberani dan hebat karena kepiawaiannya dalam membunuh orang, bernama Awuwukha. Pada suatu hari, datanglah ke Börönadu seseorang dari Susua yang menyebarkan kabar bahwa di kampungnya akan diadakan sebuah pesta owasa yang cukup besar. Ia berjalan di tengah perkampungan sambil meneriakkan pengumuman tersebut dengan harapan akan banyak warga Börönadu yang datang ke pesta tersebut. Ketika melewati rumah Awuwukha, si pembawa kabar tersebut terhenti langkahnya karena ada teriakan seorang ibu yang cukup mengganggu dirinya. “Hey, lelaki yang kelihatan kemaluannya! Untuk apa teriak-teriak seperti itu?” teriak perempuan yang tiada lain adalah ibu Awuwukha. Bagi orang Nias, itu termasuk ungkapan yang sangat mengejek. Karuan saja si pembawa kabar tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah ibu Awuwukha hingga tiang rumah gempal. Orang itu melampiaskan kemarahannya dengan menunjukkan bahwa kemaluannya seharusnya tidak diejek. Setelah puas menunjukkan kejantanannya, ia pun kemudian pergi meninggalkan Börönadu.” (Sonjaya, 2008: 63).


Seorang prajurit dan anak laki-laki di sebuah adathuis di Nias



Selang beberapa hari kemudian, ternyata lelaki tersebut datang lagi ke Börönadu dengan serombongan orang untuk menuntaskan kemarahannya. Rumah Awuwukha dan tujuh rumah saudaranya kemudian dibakar rombongan orang tersebut, termasuk lumbung padi milik Laimba, tokoh adat masyarakat Börönadu. Awuwukha hanya bisa berdiri mematung– terbelalak melihat kejadian tersebut. Sambil menahan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun, di depan ibunya– Awuwukha bersumpah akan menuntut balas dengan cara memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Tanpa persetujuan ibunya dan Laimba, Awuwukha nekad pergi untuk menuntut balas ke Susua. Beberapa hari kemudian:

“……dengan langkah tenang Awuwukha pulang dengan membawa belasan kepala manusia di dalam karung yang kemudian ditunjukkannya pada Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan dengan hal itu. Ia sebenarnya menghendaki musuhnya dibawa hidup-hidup. Laimba sadar betul bahwa dengan kejadian tersebut pertumpahan darah pasti akan berlanjut.” (Sonjaya, 2008: 65).

Dugaan Laimba terbukti. Penduduk Susua merencanakan pembunuhan terhadap Awuwukha, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Tapi semuanya berujung pada kegagalan. Awuwukha terlampau kuat untuk dibunuh. Kehebatan Awuwukha kemudian tersiar sampai ke seluruh penjuru Nias. Kehebatannya kemudian dikukuhkan melalui upacara owasa, upacara tertinggi di masyarakat Nias. Jika seseorang telah menunaikan owasa, maka setiap perkataannya dengan sendirinya telah menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya.

Sebelum meninggal, Awuwukha berpesan kepada anak-anak dan seluruh anggota keluarganya. Jika ia meninggal nanti, ia ingin ditemani oleh lima orang yang akan melayaninya kelak di alam kubur: satu orang menyiapkan minum, satu orang menjaga, satu orang untuk menyiapkan makanan, satu orang membuat sirih pinang, dan satu orang sebagai tukang pijat (Sonjaya, 2008). Karena setiap perkataan Awuwukha adalah hukum, maka wajib bagi anak-anaknya untuk mencarikan lima kepala untuk menemani penguburan Awuwukha. Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangani binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur. Sejak kematian Awuwukha, dugaan Laimba tidak hanya sekedar kekhawatiran, tapi seolah-olah telah menjelma menjadi sebuah kutukan. Sebab, mangani binu kemudian menjadi tradisi yang mengakar kuat di Nias. Ia tidak hanya diselenggarakan untuk menghormati dan menyenangkan leluhurnya saja, tetapi kemudian juga dipraktekkan untuk kepentingan-kepentingan lainnya, misalnya membangun omo sebua (rumah bangsawan Nias). Mengenai hal ini, Yupiter Bago (dalam Zebua, 2008) berkomentar:

“Produk budaya megalitik Nias justru lebih banyak ditopang oleh tradisi sawuyu dan binu, ketimbang tradisi gotong royong. Banyak omo sebua, misalnya, didirikan dengan tenaga sawuyu, menyembelih sawuyu, memenggal kepala ‘kepala tukang‘-nya, bahkan menyajikan beberapa butir kepala (binu zimate) yang didapatkan lewat ekspedisi ‘moi badano‘ ke banua (kampung) lain.

Bahkan, tradisi mangani binu juga berlaku bagi kaum lelaki yang akan meminang calon istrinya. Ia harus mempersembahkan kepala musuh kepada keluarga calon mempelai perempuan. Semakin banyak jumlah kepala yang ditunjukkan di depan calon mertua, maka semakin berharga lelaki tersebut. Bahkan, bukan hanya pelakunya saja yang layak bangga, tetapi juga leluhur-leluhurnya, karena dianggap telah berhasil melahirkan keturunan yang hebat (Hammerle, 2001). Interkoneksi antara kewajiban memuliakan leluhur dan keinginan menyandang identitas sosial yang tinggi seolah-olah menjadi justifikasi bagi tradisi manguni binu di Nias.

Berbicara tentang tradisi mangani binu di Nias terasa belum lengkap jika tidak membahas sebuah ritual yang disebut famaoso dola, atau pengangkatan tulang-tulang kembali para leluhur. Upacara ini biasanya berlaku bagi kaum bangsawan. Kepala orang yang diambil waktu perburuan ditempatkan di atas kuburan bangsawan pada saat famaoso dola. Upacara ini menggambarkan pandangan eskatologis orang Nias. Ada keyakinan yang berkembang di Nias bahwa leluhur yang sudah mati itu akan bangkit kembali atau akan terjadi kelahiran kembali ketika kepala-kepala hasil buruan itu dipersembahkan (Zebua, 2008). Orang Nias meyakini bahwa roh para leluhur dapat mengendalikan alam dan kehidupan manusia. Dalam kebudayaan yang animistik, manusia selalu berusaha menjalin hubungan yang baik dengan para roh leluhur agar kehidupan dapat berjalan secara harmonis. Untuk menjalin hubungan itu, orang Nias mengenal larangan yang disepakati bersama, salah satunya tidak boleh menyebut nama leluhur secara sembarangan. Menurut aturan, jika nama leluhur hendak disebutkan, maka harus diberi persembahan terlebih dahulu, berupa makanan yang menjadi kesukaan roh yang bersangkutan. Jika larangan tersebut dilanggar, maka orang yang melanggar biasanya akan mendapat celaka (Sonjaya, 2008).

Namun, setelah ajaran Kristiani mulai menancapkan pengaruhnya di Nias sejak akhir abad ke19, ritual-ritual adat di Nias mulai ditinggalkan. Ajaran Kristen yang melarang antar sesama manusia saling membunuh, mengutuk tradisi pemujaan terhadap roh leluhur, melarang mendirikan menhir dan membuat patung untuk mengenang leluhur yang sudah meninggal, melarang pesta-pesta besar karena terlalu boros, membuat pengaruh adat pelan-pelan semakin berkurang (Sonjaya, 2008). Namun, keberhasilan misi Kristiani di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut menjadi bergeser. Contohnya adalah diberlakukannya ritual fanano buno (menanam bunga) sebagai ganti ritual famaoso dalo (mengangkat kepala). Contoh lainnya adalah tradisi lompat batu di Nias. Menurut sejarahnya, tradisi lombat batu baru berkembang di Nias bersamaan dengan hadirnya para zendeling di pulau ini. Tradisi ini sengaja diciptakan untuk menghapus tradisi berburu kepala. Simbol kehebatan yang pada awalnya ditentukan oleh seberapa banyak jumlah kepala yang berhasil dipenggal berusaha diganti dengan kemampuan melompati batu yang tinggi (Zebua, 2008).

Tradisi Lompat Batu di Nias

Bagi orang Nias yang meyakini iman Kristiani sebagai panduan hidupnya, tradisi leluhur di atas memang sudah sepatutnya ditinggalkan. Jika mengenang tradisi leluhurnya yang banyak menampilkan sisi gelap, orang Nias seolah-olah berjuang keras untuk melawan beban sejarah dan trauma yang mendalam. Hal ini terbaca ketika orang Nias saat ini memberikan komentar atas tradisi leluhurnya.

“Mengenai tradisi mangani binu dalam budaya megalitik Nias, saya anggap hanya untuk mengingatkan sejarah budaya dan penegasan bahwa hal itu tidak sesuai dengan era religi dan hak azasi manusia. Saya percaya tradisi mangani binu sudah lama lenyap di bumi Nias. Saudaraku, marilah kira berusaha dengan talenta kita masing-masing untuk mengangkat nilai-nilai luhur budaya ono niha yang bersemangat membangun bersama.” (Daeli, 2007).

Meskipun tradisi mangani binu sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat Nias, pembunuhan dengan memenggal kepala masih kerap terjadi hingga sekarang. Sebagai sebuah tradisi, manangi binu memang telah dikutuk (terutama oleh agama baru), namun pengaruhnya masih sulit ditundukkan oleh orang Nias. Motifnya yang mulai bergeser, dari memenggal kepala berubah menjadi menusuk korbannya. Bayang-bayang emali (pemburu kepala) di masa lalu juga masih menghantui kehidupan kebanyakan orang Nias saat ini. Anak-anak kecil selalu dilarang bermain pada saat hari menjelang malam untuk menghindari emali. Hal ini juga bisa dilihat dari cara para lelaki dewasa di Nias ketika akan berpergian pada malam hari. Mereka selalu membawa senjata tajam untuk jaga diri. Jika pemenggalan kepala dalam tradisi mangani binu biasanya dilakukan oleh emali untuk bekal kubur, mas kimpoi, membangun rumah, dan alasan peperangan, pemenggalan kepala saat ini lebih banyak disebabkan oleh pertikaian dalam mempertahankan harga diri.

Sebagai penutup, sebuah kesaksian yang disampaikan oleh Sonjaya ketika melakukan penelitian di Nias cukup menarik untuk diketahui. Bukti bahwa pengaruh mangani binu belum hilang sepenuhnya dari kehidupan masyarakat Nias –hanya mengalami transformasi motif dan bentuknya saja.

“Hanya dalam dua tahun terakhir di kawasan Gomo telah terjadi 12 kali pembunuhan. Dalam minggu pertama di Börönadu, saya mendengar ada pemenggalan kepala di desa tetangga hanya gara-gara memperebutkan pohon rambutan. Setelah mencoba menggali informasi mengenai kejadian itu, ternyata pembunuhan itu lebih berlatar belakang perebutan harga diri ketimbang pohon rambutan itu sendiri. Dua tahun setelah kejadian itu saya kembali berkunjung ke Börönadu. Dua hari sebelum kedatangan saya, di Desa Umbunase, tidak jauh dari Börönadu, terjadi lagi pembunuhan. Korbannya mengalami 11 tusukan dan kepalanya dibelah. Motifnya belum diketahui, yang pasti bukan perampokan karena sejumlah uang disaku korban tidak hilang. Orang-orang di Desa Hiliana‘a berseloroh bahwa motifnya hanya sekedar persaingan olah raga untuk menunjukkan siapa yang paling kuat satu sama lain.” (Sonjaya, 2008: 71-72).








 

 Daftar Pustaka

* Deschamps, J.C., 1982, “Social Identity and Relations of Power Between Groups”, in Henry Tajfel (ed.), Social Identity and Intergroup Relations, Cambridge University Press.
* Hammerle, J., 2001, Asal-Usul Manusia Nias, Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias.
* Hammerle, J., 2007, “Nias: Antara Budaya Batu dan Ono Niha”, National Geographic Indonesia, Edisi Juni 2007. Didownload dari http://unesdoc.unesco.org/images/0015/001542/154286ind.pdf pada tanggal 29 Juni pukul 20.15 WIB.
* Julianery, 2006, Kabupaten Nias, Artikel Kompas Edisi 06 April 2006.
* Koestoro, L.P., Wiradnyana, K., 2007, Megalithic Tradition in Nias Island, Medan: Medan Archeological Office. Didownload dari http://unesdoc.unesco.org/images/0015/001517/151795eo.pdf pada tanggal 29 Juni 2008 pukul 22.30.WIB.
* Masashi, Hirosue, 2005, “European Travelers and Local Informants in the Making of the Image of “Cannibalism” in North Sumatra”, The Memoirs of the Toyo Bunko 63 (41-64), Didownload dari http://www2.toyo-bunko.or.jp/zenbun/memoirs63/m_03.pdf pada tanggal 11 Juli 2008 jam 21.00 WIB.
* Nata‘alui Duha, 2008, Sowanua dan Nadaoya Manusia Pertama Penghuni Pulau Nias? Didownload dari http://mediawarisan.wordpress.com/2007/08/02/sowanua-dan-nadaoya-manusia-pertama-penghuni-pulau-nias/ pada tanggal 30 Juni 2008 pukul 23.00 WIB.
* Reuter, T.A., 2005, Custodians of the Sacred Mountains: Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
* Sonjaya, J.A., 2008, Melacak Batu, Menguak Mitos: Petualangan Antarbudaya di Nias, Yogyakarta: Impuls dan Kanisius,
* Wiradnya, K., 2006, Orang Nias, Tahun 1150 Masih Tinggal di Dalam Gua, Harian SIB Edisi Minggu, 14 Mei 2006. Didownload dari http://niasonline.net/2007/03/12/orang-nias-tahun-1150-masehi-masih-hidup-di-dalam-gua/ pada tanggal 27 Juni 2008 pukul 22.12 WIB.
* Wiradnyana, K., 2008, Peralatan Berbahan Cangkang Moluska dari Gua Togi Ndrawa, Nias, Medan: Balai Arkeologi Medan. Didownload dari http://balarmedan.wordpress.com/category/drsketut-wiradnyana/ pada tanggal 27 Juni 2008 pukul 21.13 WIB.
* Yuanzhi, K., 2005, Silang Budaya Tiongkok–Indonesia, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
* Zebua, V., 2008, Kisah Awuwukha Pemburu Kepala.




sumber: http://gabriellaia.blogspot.com/2009/06/asal-usul-leluhur-ono-niha-nias.html
sumber gambar2: http://collectie.tropenmuseum.nl/